Regulasi impor tumpang tindih, pertimbangan teknis impor bahan baku baja masih wajib



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Polemik di regulasi impor membayangi dunia usaha di akhir tahun ini. Terbitnya Peraturan Menteri Perindustrian No 32 Tahun 2019 yang menghilangkan kewajiban pertimbangan teknis (pertek) terhadap importasi bahan baku baja, produk baja serta turunan tak disertai aturan pendukung di Kementerian Perdagangan (Kemendag).

Sebagaimana yang diketahui, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 110 Tahun 2018 yang mengatur ketentuan impor besi dan baja mewajibkan pertek tersebut. Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA), Yerry Idroes mengatakan keberadaan pertek selama ini untuk mengatasi produsen yang belum jelas kriteria produk yang dihasilkan, alih-alih malah memperdagangkan komoditas.

Baca Juga: Kabar terbaru, AS-China ternyata lebih dekat dengan kesepakatan dagang


Namun demikian IISIA menyadari ada banyak industri manufaktur baja yang masih mengandalkan bahan baku dari luar negeri karena keterbatasan suplai dari domestik. Oleh karena itu permenperin 32 ditelurkan.

"Hanya saja secara legal dari kabar yang saya ketahui, setelah permenperin 32 terbit artinya mengikuti permendag 110 yang mensyaratkan ada pertek harus mengalami penyesuaian," ujar Yerry kepada Kontan.co.id, Kamis (5/12). Sebab katanya tidak mungkin dua peraturan berdiri sendiri tapi tidak saling sinkron.

Untuk itu dikabarkan tengah ada pembicaraan antara kementerian untuk menyelesaikan masalah ini. Tumpang tindih peraturan ini tentu berdampak bagi industri besi dan baja, salah satunya sektor manufaktur kemasan kaleng.

Baca Juga: KPPI: Safeguard solusi untuk hadapi ancaman kerugian serius industri dalam negeri

Arif Junaidi, Asosiasi Produsen Kemas Kaleng Indonesia (APKKI) menyebutkan banyak produsen kaleng sedang mengurus ijin impor tinplate (baja lapis) sebagai bahan bakunya, dikarenakan akhir tahun ini akan expired.

Pihaknya sudah menghubungi kementerian yang terkait, namun jawaban yang didapat ialah industri harus menunggu agar persoalan ini dapat selesai secepatnya.

"Harapan kami paling tidak akhir minggu depan, sudah ada keputusan dari perdagangan," sebutnya kepada Kontan.co.id, Kamis (5/12). Kondisi saat ini cukup darurat, karena keterbatasan bahan baku tinplate di dalam negeri.

Baca Juga: Gelombang gagal bayar melanda pasar obligasi China, jumlahnya diramal tembus rekor

Dengan kebutuhan tinplate sekitar 250.000 ton setahun, suplai dalam negeri baru mencukupi 60% kebutuhan. Sedangkan sisanya 40% impor, Arif khawatir hal ini akan mempengaruhi kerja pabrikan.

Bisa-bisa terjadi penyetopan produksi bahkan yang paling buruk pemutusan hubungan kerja (PHK) lantaran beberapa lini produksi menjadi non-aktif. "Sebenarnya saya lihat di level menteri sudah dibicarakan namun level pelaksananya lewat juklak belum ada, sinkronisasi ini yang perlu," kata Arif.

Padahal kalau produksi kaleng tersendat maka akan ada efek beruntun, dimana kebutuhan kaleng ada pada pengemasan produk-produk seperti cat, makanan instan dan sarden.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .