KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menilai impor barang tekstil masih terus melonjak hingga paruh pertama tahun ini. Hal tersebut didorong oleh perang dagang antara China dengan Amerika Serikat (AS) serta regulasi dalam negeri yang tidak melindungi produsen hulu tekstil. Terkait perang dagang misalnya, Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan ada banyak produk tekstil dan bahkan garmen dari China yang di-
banned masuk ke AS. "Kondisi ini menyebabkan produk dari China kemana-mana, tak hanya Indonesia saja, tapi juga negara-negara yang punya basis tekstil kuat seperti India, Turki dan Brazil," sebutnya kepada Kontan.co.id, Minggu (4/8).
Baca Juga: Impor melonjak, bisnis industri tekstil tertekan di paruh pertama 2019 Namun negara-negara tersebut telah melakukan proteksi seperti penerapan anti dumping, bahkan di Turki kata Redma selain
anti dumping juga ada
safeguard berupa peraturan tata niaga kuota impor yang ketat. "Sementara disini keran impor dibuka cukup lebar malah untuk importasi umum," katanya. Asosiasi menilai keberadaan Permendag nomor 64 tahun 2017, yang semula bermaksud merangsang ekspor namun di satu sisi memfasilitasi peluang impor juga naik. Kalau impor, kata Redma, sudah cukup punya fasilitas di kawasan berikat tidak perlu ada Permendag lagi, apalagi barang yang diimpor nyatanya telah dapat diproduksi di Indonesia.
Baca Juga: Efek gagal bayar Duniatex Group merembet, lini bisnis properti ikut direstrukturisasi Hal ini dinilai mengganggu neraca perdagangan TPT, dimana berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dihimpun oleh APSyFI, hingga semester-I 2019, tercatat nilai ekspor memang mengalami kenaikan 3,9%
year on year (yoy) menjadi US$ 6,73 miliar. Namun nilai impor tumbuh lebih tinggi lagi 7% yoy menjadi US$ 4,41 miliar di paruh pertama tahun ini. Sehingga neraca perdagangan TPT tercatat US$ 2,32 miliar untuk Januari-Juni 2019, atau turun 3,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Banyaknya impor, menurut Redma menyebabkan produsen lokal sulit bersaing.
Baca Juga: Cerita Bos Sritex Iwan Setiawan Terjun ke Dunia Investasi Realitasnya, barang impor lebih murah karena kebanyakan merupakan barang TPT sisa dari pabrikan di China yang dijual dengan harga miring. Soal
demand, baik ditingkat lokal maupun global dinilai masih terus ada. "Tapi kalau produsen harus produksi banyak, sementara stok sendiri masih banyak
numpuk karena tidak bisa jual disalib impor,
cash flow jadi mandeg akhirnya ada yang memilih mengurangi produksi atau diam saja," urai Redma. Perputaran
cash flow di dunia tekstil cukup cepat, jika barang masih menumpuk di gudang 2-3 minggu saja maka dipastikan
cash flow bakal terganggu. Sedangkan para produsen garmen dalam negeri diakui Redma juga banyak menyerap benang dan kain impor.
Baca Juga: Imbangi Produk Impor, Trisula Textile Industries (BELL) Fokus Menggarap Pasar Seragam Oleh karenanya, Asosiasi enggan mematok target yang muluk-muluk sampai akhir tahun ini. "Kalau capaian (tahun ini) sama seperti 2018 sudah sangat bagus, kecuali ada perbaikan di beberapa bulan ke depan," tegasnya. Terkait penurunan produksi, beberapa pabrikan diketahui melakukannya seperti PT Argo Pantes Tbk (
ARGO) yang semula memiliki kapasitas produksi kain sebesar 2 juta yard per bulan di tahun 2018 menjadi 1,78 juta yard per bulan sepanjang paruh pertama tahun ini. Deepak Anand, Direktur Utama ARGO tak memberikan detil terkait kondisi pasar dalam negeri, namun efisiensi ini harus dilakukan demi memperoleh margin yang lebih baik. "Produksi memang agak mengalami penurunan. Karena ada beberapa
item yang kami kurangi, demi
Profitability tetap terjaga," ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .