KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pengembangan
rooftop photovoltaic power station atau PLTS Atap di Indonesia dinilai hanya bersifat
international image builder atau
lips service. Pencitraan internasional digunakan untuk menjaring investor bahwa Indonesia sedang menjalankan
greenhouse gas policy sesuai dengan
Nationally Determined Contributions (NDC) dari Paris Agreement tanpa diiringi dengan situasi pasar yang memang mengarah pada perbaikan ekosistem pasar ke energi baru terbarukan (EBT). Sebelumnya, Kementerian ESDM akan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM tentang PLTS Atap. Isinya yang sangat kontroversial adalah tentang ketentuan ekspor 100% bagi pelanggan PLTS Atap kepada PLN. Artinya, PLN wajib membeli 100% harga listrik yang dijual oleh pelanggan. KONTAN.co.id mendapatkan draf Permen ESDM Tentang PLTS Atap Yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum. Permen ESDM ini tengah diharmonisasi dan akan dikirim ke Presiden Joko Widodo.
Dalam aturan yang belum ada nomornya itu menyebutkan pada bagian kedua soal Perhitungan Ekspor dan Impor Energi Listrik Pasal 6 menuliskan: (1) Energi listrik Pelanggan PLTS Atap yang diekspor, dihitung berdasarkan nilai kWh Ekspor yang tercatat pada Meter kWh Ekspor-Impor dikali 100% (seratus persen). Yayan Satyakti, Dosen Ekonomi Energi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, menilai kebijakan
solar cell untuk
rooftop yang masif sangat bagus dikembangkan di Indonesia demi menurunkan ketergantungan listrik berbahan bakar fosil. Akan tetapi, jika berkaca pada pasar yang relatif berhasil mengembangkan teknologi ini, yaitu Uni Eropa, hal yang dilakukan oleh Indonesia agar inovasi yang baik ini menjadi sukses, harus memenuhi beberapa catatan. Pertama, terkait permintaan dari rooftop PV, apakah kesediaan orang Indonesia menggunakan teknologi ini sudah tinggi atau belum. Pasalnya, menurut Yayan, teknologi yang digunakan oleh rumah tangga atau konsumen yang memang memiliki literasi yang baik untuk menggunakan teknologi ini seperti literasi lingkungan akan
green economy atau
green investment. Di sisi lain, ada juga masyarakat yang tidak
willingness to use. “Maka jawabannya yaitu
economic incentives. Apakah
benefit menggunakan teknologi bagi rumah tangga akan lebih banyak dibandingkan
cost of investment and maintenance dari penggunaan teknologi ini,” ujar Yayan, Selasa (17/8). Doktor dari Czceh University of Life Science Prague, Republik Ceko itu mencontohkan, ada vendor yang siap untuk instalasi, layanan purna jual untuk
maintenance yang dapat diakses seperti menggunakan
mobile phone pada saat ini. “Semua dapat diakses dengan mudah dan nilai ekonomis dari investasi ini mudah diakses dan dibeli dengan murah atau investasi yang efisien,” kata Yayan. Kedua, terkait investasi yang efisien untuk
roofsolar PV tidak mudah. Yayan mencontohkan, di beberapa negara Eropa seperti Perancis, Jerman, Spanyol atau Italia Levelised Cost of Electricity (LCOE) kurang lebih 20 Eurocent/kWh, masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan LCOE di wilayah Eropa Tengah Timur seperti Hungaria, Bulgaria, Romania, dan Estonia yang hanya 5-10 Eurocents/kWh pada 2017. Namun, harganya terus turun dalam jangka waktu tiga tahun sebesar 50% menjadi 5-10 Eurocent/kwH. “Artinya pengembangan R&D untuk teknologi rooftop PV di Eropa sangat signifikan menurunkan LCOE selama periode 2017-2019,” katanya. Menurut Yayan, jika melihat pada tarif dasar listrik (TDL) Indonesia harga akhir listrik di Indonesia berada di kisaran 6-8 Eurocents/kWh berdasarkan informasi dari PT PLN untuk TDL April – Juni 2021. “Kita dapat bayangkan ini harga konsumsi akhir, jika kita bandingkan dengan harga rooftop di EU harga tersebut adalah ongkos produksinya, jadi mereka akan jual di kisaran 9-10 Eurocents/kWh. Keekonomian TDL harga listrik saat ini tidak mendukung terhadap keekonomisan dari investasi teknologi rooftop PV,” ungkap Yayan. Berdasarkan hasil perhitungan di EU, lanjut Yayan, WACC (Weight Cost of Capital) untuk investasi rooftop berada di 7% sedangkan di Indonesia WACC atau IRR keekonomian di atas 10%. “Di sini ada kesenjangan antara daya beli
vs price, investment vs economic price, harusnya
investment =
price sehingga price = daya beli (purchasing power),” kata Yayan. Menurut kalkulasi Laboratorium Sistem Tenaga Listrik Institut Teknologi Bandung (ITB), jika tarif PLTS Atap tetap 100% atau Rp1.444,3 per KWh dan diikuti penambahan kapasitas 1 GW tiap tahun, hingga 2030 akan ada kenaikan Biaya Pokok Produksi (BPP) Rp11,3 per KWh atau Rp42,5 triliun selama sembilan tahun. Mukhtasor, Pakar Energi dan Guru Besar Institut Teknologi 10 November Surabaya, menambahkan pemerintah atau negara harus bertanggung dari konsekuensi dari keputusan yang diambil terkait rencana Kementerian ESDM merevisi Peraturan Menteri terkait PLTS Atap. Salah satu klausul yang kontroversial adalah kewajiban PLN untuk membeli 100% listrik dari PLTS Atap dari sebelumnya 65%.
“Rencana penerbitan Permen ESDM soal PLTS Atap terburu-buru. Harusnya pihak terkait memberikan masukan dalam penyusunan Permen terkait revisi PLTS Atap. Jika ada informasi yang tidak
match, pihak independen dilibatkan. Apalagi ini demi kepentingan nasional dan berdampak tidak hanya bagi PLN, juga keuangan negara,” ujar Mukthtasor saat diskusi dengan media, Selasa sore. Menurut dia, apa pun keputusan nanti dalam Permen ESDM terkait PLTS Ata, keputusanitu diambil harus sudah memperhitungkan konsekuensi dan ada mitigasinya. “Kalau ditetapkan 1:1 harus ada kompensai kepada PLN. Berapa beban kompensasinya? Begitu juga kalau 1:0,65, berapa kompensasi yang diberikan?,” katanya. Artinya, lanjut Mukhtasor, APBN harus disiapkan untuk menanggung konsekuensi dari keputusan tersebut. Dana APBN harus disiapkan untuk kuota tertentu. “PLTS Atap kan marak untuk kota besar, khususnya Jakarta. Padahal, yang pas itu pengembangan PLTS yang digunakan untuk menggantikan pembangkit diesel yang kebanyakan dibangun/dipasang di daerah. Sebaiknya fokus ke PLTS bukan ke PLTS Atap. Itu hanya menguntungkan orang kaya,” kata dia Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Azis Husaini