Regulasi tarif transportasi udara di Indonesia



Dalam dunia penerbangan dikenal tarif, rate, dan fares. Tarif adalah biaya yang harus dibayar sebagai imbal jasa pengangkutan seorang penumpang termasuk biaya komisi, agen dan biaya-biaya lain. Sedangkan  rate adalah biaya yang harus dibayar oleh pengirim barang per kilogram (kg). Sedangkan fares adalah biaya yang harus dibayar untuk seorang penumpang saat memakai layanan transportasi udara.

Dari pengertian tersebut, sejatinya tarif sangat berperan bagi para pemangku kepentingan di bidang penerbangan yang melibatkan  para penumpang, perusahaan penerbangan yang bersangkutan serta pemerintah yang berperan sebagai regulator.

Bagi penumpang, penerapan tarif di bisnis penerbangan  yang terlalu tinggi bisa menyebabkan penumpang tidak dapat menikmati jasa transportasi udara. Sebaliknya tarif terlalu rendah justru bisa mengancam kelangsungan hidup perusahaan penerbangan. Adapun bagi pemerintah sendiri, tarif merupakan salah satu sarana untuk bisa  mengendalikan kebutuhan transportasi udara oleh masyarakat dengan memperhatikan keberlangsungan hidup bagi perusahaan penerbangan.


Jika menelaah lebih lanjut, sebenarnya kebijakan tarif tidak terlepas dari ideologi politik negara yang bersangkutan. Pada masa orde lama ideologi politik cenderung sosialis. Karena itu transportasi udara dilaksanakan oleh perusahaan penerbangan milik pemerintah. Yakni masing-masing Garuda Indonesian Airways (GIA) dan Merpati Nusantara Airlines (MNA). Di masa itu, tarif sepenuhnya diatur pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak.

Pada waktu itu tidak ada persaingan tarif. Semua sudah diatur oleh pemerintah sebagai regulator di bidang penerbangan. Berdasarkan Undang Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), kebijakan transportasi udara adalah bisa banyak perusahaan penerbangan tetapi terbatas (multi limited airline system).  Ini memungkinkan dibuka perusahaan penerbangan milik swasta. Tetapi jenis pesawat udara dan tarif dikendalikan oleh pemerintah. Hanya Garuda Indonesia yang boleh menggunakan pesawat bermesin jet. Swasta hanya boleh menggunakan pesawat udara bermesin baling-baling (propeller).

Sedangkan tarif mengacu tarif Garuda Indonesia, perusahaan penerbangan swasta hanya boleh menentukan tarif 15% dibawah tarif Garuda. Sebaliknya Garuda Indonesia malah boleh menaikkan tarif 15% dari harga normal apabila menggunakan pesawat udara berjenis Airbus.

Pada era reformasi sampai tahun 2007, kebijakan transportasi bersifat liberal. Ini untuk menunjang kebijakan pariwisata nasional. Lantas membuat perusahaan penerbangan jadi sangat mudah, persaingan hebat antara transportasi kereta api, darat, laut, pemain lama dengan pemain baru, kemudian pemain baru dengan pemain baru lain.

Efeknya, transportasi bus Jakarta-Padang, Jakarta-Medan gulung tikar tidak mampu bersaing dengan transportasi udara. Kapal laut yang dioperasikan PT Pelni juga terpaksa diserahkan kepada pihak TNI-AL karena tidak mampu bersaing dengan transportasi udara. Lantas ada juga persaingan perusahaan penerbangan yang baru melawan perusahaan penerbangan lama seperti Bouraq Indonesia, Mandala Airlines, Sempati Air dan lainnya, yang semuanya sudah gulung tikar.

Persaingan berlanjut bersama-sama perusahaan penerbangan yang baru, akibat persaingan yang sangat ketat banyak kecelakaan pesawat udara dengan puncaknya adalah kecelakaan Adam Air tanggal 1 Januari 2007.Kejadian itu membuat ICAO mengaudit. Hasilnya perusahaan penerbangan lokal mendapat kategori 2. Efeknya adalah perusahaan penerbangan asal Indonesia dilarang terbang ke Eropa.

Kebijakan tarif

Kalau melihat kebijakan tarif berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang penerbangan bersifat neo-liberal yaitu gabungan ideologi sosialis dengan ideologi liberal. Berdasarkan ideologi sosialis, tarif ekonomi diatur oleh pemerintah untuk melindungi masyarakat banyak. Sedangkan berdasarkan ideologi liberal tarif non-ekonomi tidak diatur oleh pemerintah untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan penerbangan berdasarkan hukum pasar (supply and demand).

Di dalam kebijakan neo-liberal masih banyak persaingan yang ketat baik dibidang pelayanan, rute penerbangan,  jenis pesawat udara dan tarif. Di bidang pelayanan ada tiga kategori masing-masing fully services, medium services, and no-frill services. Saat ini yang melayani fully services hanya Garuda Indonesia dengan Batik Air, lainnya medium services.Di layanan fully services penumpang memperoleh ruang tunggu eksekutif, makan, minum, entertainment, koran, majalah dan lainnya.  Kalau medium services hanya memperoleh air mineral, tergantung jarak penerbangannya.

Persaingan di bidang tarif sangat ketat dilakukan perusahaan penerbangan. Karena itu perusahaan penerbangan membuat berbagai  jenis tarif berdasarkan jam keberangkatan, hari keberangkatan dan bulan keberangkatan.

Tarif berdasarkan jam keberangkatan yang paling mahal adalah berangkat jam 04.30 sampai jam 09.30. Yang paling murah jam 12.00  -  jam 15.00. Sedangkan berdasarkan hari keberangkatan yang paling murah terbang hari Selasa, Rabu dan Kamis sedangkan yang paling mahal terbang hari Jumat, Sabtu, Minggu dan Senen. Berdasarkan bulan keberangkatan yang paling mahal liburan sekolah, Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru. Sedangkan bulan biasa harga normal.

Jenis-jenis persaingan tersebut masih ada jenis tarif yang lain seperti tarif promo, tarif fleksibel, tarif normal, tarif diskon dan lainnya tergantung situasi penumpang. Bahkan berganti jam keberangkatan juga harganya bisa berbeda. Berdasarkan kebijakan neo-liberal kebebasan menentukan tarif berapapun juga asal tidak melebihi batas atas dan tidak lebih rendah dari tarif batas bawah. Kalau lebih rendah dari harga batas bawah akan mengancam keselamatan penerbangan.

Tarif non-ekonomi pemerintah tidak menentukan, biarlah perusahaan penerbangan menentukan berdasarkan hukum pasar untuk menjamin kelangsungan perusahaan. Untuk diketahui ada perusahaan penerbangan yang menetapkan penerbangan dari Jakarta ke Schippol di Belanda memasang tarif US$ 6.500 sedangkan Jakarta-Solo memasang tarif Rp.4.700.000, hal itu dibolehkan tetapi tempat duduknya ditentukan hanya beberapa tempat duduk eksekutif.                                                 

K. Martono Guru Besar Hukum Udara Nasional dan Internasional Universitas Tarumanegara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi