Rehabilitasi dan rekonstruksi paska bencana Sulteng butuh anggaran Rp 36 triliun



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bencana yang terjadi di Kota Palu dan tiga kabupaten lain, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong pada 28 September 2018 lalu menyebabkan kerugian yang luar biasa. Total kerugian dan kerusakan akibat bencana gempa bumi, tsunami dan likuifaksi di di Sulteng mencapai Rp 23,14 triliun.

Kebutuhan anggaran untuk pembangunan kembali Sulawesi Tengah (Sulteng) yang lebih baik mencapai Rp 36 triliun. Pembangunan kembali atau rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut menyasar pada berbagai sektor, yaitu perumahan, infrastruktur, sosial, ekonomi dan sektor lintas. 

Kerugian tidak hanya dipicu oleh magnitudo gempa tetapi juga fenomena tsunami dan likuifaksi dengan skala dampak yang besar. Pada tahun anggaran 2019 ini, pemerintah provinsi mengajukan usulan sebesar Rp 3,5 triliun untuk tahapan pemulihan pada kelima sektor tersebut. 


Sementara itu, Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2018 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sulawesi Tengah menargetkan masa pemulihan hingga 31 Desember 2020. 

Namun demikian, dalam implementasi tahapan pemulihan menghadapi isu-isu penting, seperti sebagian masyarakat belum bersedia menempati hunian sementara (huntara) karena lokasi jauh dari tempat tinggal semula, keterbatasan pasokan listrik, dan air bersih, dan kendala status tanah pada rencana pembangunan  hunian tetap (huntap) di lahan relokasi. 

Berdasarkan data Pemerintah Provinsi Sulteng per 30 Januari 2019, jumlah korban meninggal dan hilang mencapai 4.402 jiwa, dimana, 2.685 jiwa meninggal dunia, 701 jiwa hilang dan 1.016 jiwa korban dikubur massal. Jumlah korban meninggal di Palu terbanyak yaitu Palu 3.679 jiwa, kemudian Sigi 405, Donggala 303, dan Parigi Moutong 15. 

Sedangan total kerusakan rumah, kerusakan rumah dengan kategori rusak ringan, sedang, berat dan hilang mencapai 100.405 unit. Angka tertinggi untuk kerusakan rumah adalah Palu, yaitu 42.864 unit. 

Hingga saat ini, Pemerintah Provinsi Sulteng masih berada pada fase transisi darurat ke pemulihan yang nanti akan berakhir pada 24 April 2019. Perkembangan tahap pembangunan perumahan masih berfokus pada huntara yang berada di beberapa titik. 

Saat ini pembangunan huntara tersebut sudah mencapai 629 unit di 69 lokasi, namun jumlah unit yang dihuni sebanyak 406 unit. Pada sektor pendidikan jumlah kerusakan sekolah mencapai 1.299 di Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong. 

Jumlah tersebut mencakup jumlah sekolah dan ruang kelas serta ruang lain di lingkungan sekolah yang terdampak. Total sekolah terdampak tertinggi teridentifikasi di Donggala sebanyak 540 fasilitas, Palu 386, Sigi 267, dan Parigi Moutong 106. 

Penilaian kerusakan menyasar sektor kesehatan mencakup kerusakan rumah sakit, puskesmas dan pustu. Total kerusakan mencapai 325 unit dengan kategori hilang, rusak berat, rusak sedang dan rusak ringan. Angka kerusakan tertinggi di sektor ini yaitu di Parigi Moutong dengan 106 unit, Donggala 94, Sigi 68 dan Palu 57. 

Dalam Rapat Koordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana hari ini (12/4) di Graha BNPB, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo menegaskan pemerintah pusat tidak akan membangun jika lahan tidak disediakan oleh pemerintah daerah. 

“Setelah lahan clean and clear barulah bisa dibangun untuk meminimalkan masalah di masa yang akan datang,” ujar Doni dalam siaran persnya, Jumat (12/4).

Selanjutnya Doni juga menginstruksikan jaminan hidup dan santunan kematian agar dapat segera disalurkan setelah diverifikasi by name and by address oleh Kementerian Sosial yang dibantu Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dan diharapkan sebelum puasa dana sudah diterima oleh para korban. 

Pemerintah provinsi melansir total sementara jumlah korban meninggal yang terverifikasi 1.873 jiwa. Terkait dengan pembangunan infrastruktur, Doni mengingatkan untuk memperhatikan informasi kebencanaan, yaitu tidak membangun di area zona merah. 

Lebih lanjut mengenai area zona merah, Doni menegaskan bencana ini adalah peristiwa yang berulang, masyarakat yang bertahan di lokasi bencana perlu adanya edukasi dan sosialisasi tentang kebencanaan. "Perlu adanya sosialisasi terus menerus, masif dan door to door kepada masyarakat," ungkap Doni.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .