JAKARTA. Sosok pengembang properti selalu identik dengan pengusaha sukses yang mudah meraup keuntungan hingga ratusan persen. Namun, pada bincang-bincang yang digelar DPP Realestat Indonesia (REI), Rabu (5/3), hal itu dibantah oleh Ketua DPP REI Eddy Hussy. Eddy, beserta Sekjen DPP REI Hari Raharta Sudrajat, dan Wakil Ketua Umum REI Bidang Pembiayaan dan Perbankan Preadi Ekarto, satu suara mengungkapkan bahwa tidak selamanya pengembang meraup keuntungan besar. Bahkan, sebagian besar pengembang perumahan bersubsidi atau rumah murah yang tergabung dalam DPP REI justeru mengalami kerugian. "REI ini ada anggota yang memang khusus membangun proyek besar, dan ada yang membangun untuk masyarakat menengah bawah. Sebagian besar membangun rumah MBR. Ternyata, apapun kebijakan yang ada dari pemerintah, anggota REI tetap membangun," ujar Eddy. Eddy juga mengatakan, bahwa REI sudah menargetkan pembangunan 120.000 unit rumah tapak dengan harga terjangkau tahun ini. Namun, belum tentu ke-120.000 unit tersebut sepenuhnya bisa dibeli dengan memanfaatkan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Hal ini terjadi lantaran ada sedikit selisih harga karena kondisi pasar yang tidak mendukung. Wakil Ketua Umum REI Bidang Pembiayaan dan Perbankan Preadi Ekarto menimpali pernyataan Eddy. Menurut dia, rumor bahwa pengembang bisa untung 300 sampai 400% itu tidak mungkin, terutama untuk pengembang rumah bersubsidi. "Komponen harga rumah itu, bangunan 50% dan tanah, serta sarana 50%. Bangunan dibuat orang, kita bisa dapat untung dari sisi tanah. Keuntungan 300% itu tidak mungkin untuk pengembang. Yang bisa untuk sebesar itu malah konsumen. Itu kalau rumah sederhana," kata Preadi. Di sisi lain, harga rumah bersubsidi juga sudah dipatok oleh pemerintah. Mau tak mau, pengembang REI yang membangun rumah bersubsidi harus mengikuti patokan harga itu. Preadi mengatakan, sama seperti alasan pengembang lainnya, meningkatnya harga tanah membuat jumlah rumah bersubsidi yang mampu dibangun kini semakin sedikit. "Di tempat saya ada 50 hektare. Setelah dibangun 30 hektare untuk rumah subsidi, berubah bentuk menjadi komersial," ujarnya. Seyogianya, lanjut Preadi, keuntungan bisa diraih jika pada periode atau proyek selanjutnya ia bisa membangun dengan jumlah yang sama. Sayangnya, dengan peningkatan harga, Preadi justru hanya mampu membangun 10 hektare. "Saya tidak untung, malah buntung. Pengembang, terutama pengembang rumah sederhana, tidak untung, tapi rugi," ujarnya. Berdasarkan catatan Kompas.com, sepanjang 2014 ini Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Real Estate Indonesia (REI) menargetkan pembangunan sekitar 120.000 unit rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di seluruh Indonesia. (Tabita Diela)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
REI: Bangun rumah murah bikin buntung
JAKARTA. Sosok pengembang properti selalu identik dengan pengusaha sukses yang mudah meraup keuntungan hingga ratusan persen. Namun, pada bincang-bincang yang digelar DPP Realestat Indonesia (REI), Rabu (5/3), hal itu dibantah oleh Ketua DPP REI Eddy Hussy. Eddy, beserta Sekjen DPP REI Hari Raharta Sudrajat, dan Wakil Ketua Umum REI Bidang Pembiayaan dan Perbankan Preadi Ekarto, satu suara mengungkapkan bahwa tidak selamanya pengembang meraup keuntungan besar. Bahkan, sebagian besar pengembang perumahan bersubsidi atau rumah murah yang tergabung dalam DPP REI justeru mengalami kerugian. "REI ini ada anggota yang memang khusus membangun proyek besar, dan ada yang membangun untuk masyarakat menengah bawah. Sebagian besar membangun rumah MBR. Ternyata, apapun kebijakan yang ada dari pemerintah, anggota REI tetap membangun," ujar Eddy. Eddy juga mengatakan, bahwa REI sudah menargetkan pembangunan 120.000 unit rumah tapak dengan harga terjangkau tahun ini. Namun, belum tentu ke-120.000 unit tersebut sepenuhnya bisa dibeli dengan memanfaatkan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Hal ini terjadi lantaran ada sedikit selisih harga karena kondisi pasar yang tidak mendukung. Wakil Ketua Umum REI Bidang Pembiayaan dan Perbankan Preadi Ekarto menimpali pernyataan Eddy. Menurut dia, rumor bahwa pengembang bisa untung 300 sampai 400% itu tidak mungkin, terutama untuk pengembang rumah bersubsidi. "Komponen harga rumah itu, bangunan 50% dan tanah, serta sarana 50%. Bangunan dibuat orang, kita bisa dapat untung dari sisi tanah. Keuntungan 300% itu tidak mungkin untuk pengembang. Yang bisa untuk sebesar itu malah konsumen. Itu kalau rumah sederhana," kata Preadi. Di sisi lain, harga rumah bersubsidi juga sudah dipatok oleh pemerintah. Mau tak mau, pengembang REI yang membangun rumah bersubsidi harus mengikuti patokan harga itu. Preadi mengatakan, sama seperti alasan pengembang lainnya, meningkatnya harga tanah membuat jumlah rumah bersubsidi yang mampu dibangun kini semakin sedikit. "Di tempat saya ada 50 hektare. Setelah dibangun 30 hektare untuk rumah subsidi, berubah bentuk menjadi komersial," ujarnya. Seyogianya, lanjut Preadi, keuntungan bisa diraih jika pada periode atau proyek selanjutnya ia bisa membangun dengan jumlah yang sama. Sayangnya, dengan peningkatan harga, Preadi justru hanya mampu membangun 10 hektare. "Saya tidak untung, malah buntung. Pengembang, terutama pengembang rumah sederhana, tidak untung, tapi rugi," ujarnya. Berdasarkan catatan Kompas.com, sepanjang 2014 ini Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Real Estate Indonesia (REI) menargetkan pembangunan sekitar 120.000 unit rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di seluruh Indonesia. (Tabita Diela)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News