JAKARTA. Pengembang berkewajiban membangun hunian berimbang yang tertuang dalam konsep 1:2:3. Artinya, untuk 1 rumah mewah, pengembang harus membangun 2 rumah menengah dan 3 rumah murah. Aturan ini disebutkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang. Dalam praktinya di lapangan, ternyata tidak berjalan mulus. Sejumlah pengembang dilaporkan ke kepolisian karena dianggap tidak mengamalkan UU ini. Untuk itu, Ketua DPD REI DKI Jakarta Amran Nukman mengatakan, sesuai amanat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membentuk satuan tugas atau satgas.
"Kita sebut satgas ini untuk kerja cepat. Kita punya pengalaman 8-9 tahun selesai membangun 4 blok di Pulogebang. Dua blok sudah serah terima dan dua lagi akan menyusul. Harusnya bulan lalu, tapi mundur sedikit," ujar Amran saat berbincang dengan media usai berbuka puasa bersama 1.000 anak yatim di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Jakarta, Kamis (2/7/2015). Amran menuturkan, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menerima laporan dari jajarannya bahwa serah terima memakan waktu lama, lebih dari 8 tahun. Ahok pun mengundang DPD REI DKI saat rapat pimpinan bersama dengan wakil gubernur, wali kota, kepala dinas, deputi, dan asisten. Saat rapat itu, Ahok menegaskan akan melibatkan REI untuk bekerja sama membantu Pemprov membangun 7.000 unit rumah susun (rusun) dalam memenuhi kewajiban hunian berimbang. "Ini tidak begitu mudah. Kemudian, DPD DKI diajak Pemprov, Ahok bilang di depan jajarannya akan mendukung kita," jelas Amran. Pekan lalu, imbuh dia, DPD DKI bertemu dengan Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) untuk menentukan lokasi dan pola yang akan diamalkan. Pola ini masih dipertimbangkan, apakah persis sama dengan sebelumnya. Sementara pola yang lama, lanjut Amran, adalah bentuk konversi uang Rupiah yang disiapkan pengembang menjadi jumlah unit. "Pola lama ini cukup baik. Konversi itu menghitung unitnya. Bukan hanya pengembang kasih uang. Jadi kewajiban pengembang bangun berapa luasnya. Luas itu dikonversi Rupiah, jadi nilai per unitnya terlihat. Mengonversi itu membantu menghitung jumlah unit," ucap Amran. Meski begitu, tambah dia, hal ini masih harus diperdalam. Rencananya, Kamis depan (9/7/2015) DPD REI akan melakukan pertemuan berikutnya dengan BPKD untuk membahas hal yang lebih teknis. Konversi Menurut UU, jika lahan pembangunan dimiliki pengembang, sambil melaksanakan kewajiban itu, pengembang boleh menjual unit tersebut. Harganya ditentukan oleh pemerintah. Sementara Ahok memiliki pemikiran berbeda, yaitu Pemprov yang menunjuk pasar atau lokasi bilangannya. "Pengembang bersedia (pola) yang mana saja, karena sudah kewajiban. Yang mudah memang (pemprov menunjuk) lahan mana untuk jadi lokasi pembangunan, tapi kan ini jadi hibah," jelas Amran. Jika pengembang membangun di lahan pemerintah, kata dia, maka rusun ini dikembalikan pada pemprov. Saat ini, soal nilai unit dan harga jual unit sedang dalam pembahasan di Kementerian Keuangan. Nilai jual inilah yang bisa menjadi patokan dalam mengonversi nilai Rupiah menjadi jumlah unit.
Sebanyak 7.000 unit yang akan dibangun ini, terangkum dalam 700 menara. Lokasinya sekitar 200 hektar yang tersebar. Dananya juga murni dari pengembang. "Dalam 1 tahun 7000 unit. Masih mungkin terkejar, karena ada 46 pengembang terdaftar punya kewajiban. Dari 46 pengembang ada yang dobel jadi sisa 20 pengembang," sebut Amran. Dalam pembangunannya, para pengembang tidak perlu menunggu payung hukum. Nantinya, akan ada penandatanganan persetujuan antara Pemprov dengan pengembang. Ahok sendiri meminta pengembang segera melakukan pencanangan. Menurut Amran, Ahok berharap kegiatan ini bisa berlangsung setelah lebaran. Namun, karena masih sangat terkait teknis, hal tersebut belum bisa dipastikan. (Arimbi Ramadhiani) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Uji Agung Santosa