REI dan Perbankan Berkolaborasi Mencari Solusi Atas Keterbatasan Kuota FLPP 2024



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kuota fasilitas likuiditas pembiayaan perumahaan (FLPP) untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang ditetapkan sebesar 166.000 tahun ini diperkirakan akan habis pada Agustus 2024. Data BP Tapera, penyaluran FLPP dari Januari hingga 7 Juni sudah mencapai 89.543 unit. 

Menipisnya alokasi pembiayaan rumah subsidi ini mulai memunculkan kekhawatiran para pengembang rumah subsidi. Jika kuota tak ditambah maka akan membuatproyek-proyek yang sudah mereka bangun tak bisa terjual. Selain itu, MBR juga akan semakin sulit mendapatkan rumah. 

Oleh karena itu, pengembang yang tergabung dalam asosiasi Realestat Indonesia (REI) mulai mendesak pemerintah untuk menaikkan kuota tahun ini.  REI DKI Jakarta, REI Jawa Barat dan REI Banten meminta kuota setidaknya  mencapai  228.914 unit rumah. Itu dengan membandingkan realisasi FLPP lima bulan pertama tahun dan periode yang sama tahun lalu dikali realiasi sepanjang 2023.


“Terkait isu kuota pembiayaan rumah subsidi,  REI DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten melakukan koordinasi untuk proaktif. REI mencari terobosan yang kongkrit dengan para pemangku kepentingan terkait solusi yang bisa dieksekusi bersama-sama,” kata Ketua DPD REI DKI Jakarta Arvin F Iskandar pada acara Temu Anggota Tiga DPD REI, Rabu (13/6).

Baca Juga: Tapera Beda dengan Program Manfaat Pembiayaan Perumahan BPJS Ketenagakerjaan

Sementara itu, Kasubdit Kemudahan dan Bantuan Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR, Samson Sibarani mengungkapkan, pihaknya telah melayangkan surat kapada Kementerian Keuangan agar kuota FLPP bisa dinaikkan tahun ini jadi 220.000 unit. Namun, ia menekankan bahwa penambahan itu akan tergantung pada ketersedian dana APBN. “Surat kami belum dibalas pemerintah,” ujarnya.

Cari Terobosan Pembiayaan

REI juga berkoordinasi mencari solusi bila kuota tidak berubah karena adanya keterbatasan APBN. Untuk itu REI berkolaborasi dengan BP Tapera, Kementerian PUPR dan perbankan untuk mencari terobosan pembiayaan. 

Alvin mengatakan, sebagai solusinya harus digali, misalnya dengan kembali menerapkan program subsidi selisih bunga atau alternatif pembiayaan dari sumber-sumber yang lain. Ia bilang, selain dengan perbankan, kolaborasi dengan BP Tapera dan BPJS Tenaga Kerja juga bisa didorong untuk mendukung pembiayaan MBR. 

Ketua DPD REI Jawa Barat, Lia Nastiti mengatakan kekurangan kuota pembiayaan dana subsidi berpotensi menyebabkan dampak besar, tidak hanya bagi MBR dan pengembang, tetapi juga untuk 175 industri yang menjadi penunjang pembangunan rumah dan jangan dilupakan juga dampaknya bagi pihak perbankan yang memberikan kredit konstruksi .

Baca Juga: Pemerintah Sudah Guyur Anggaran Rp 228,9 Triliun untuk Bantu MBR Punya Rumah

“Jawa Barat selama ini adalah penyumbang pembangunan rumah subsidi terbesar di Indonesia. Pada 2023 realisasinya 61.868 unit. Tahun ini, kami menargetkan sebanyak 65,000 unit. Kehabisan kuota KPR FLPP bisa menghambat pertumbuhan sektor properti, menghambat pengembangan properti, dan meningkatkan risiko gagal bayar karena pengembang tidak dapat memenuhi kewajiban perbankan,” tuturnya. 

Sementara itu, Subsidized Mortgage Division Head Bank BTN Budi Permana mengatakan, pihaknya mengusulkan dua skema sebagai untuk mendukung pembiayaan rumah subsidi di tengah keterbatasan kuota. 

Pertama, skema rent to own kepada calon pembeli rumah subsidi. Dimana MBR mencicil sea salaam enma bulan dan jika terbukti lancar maka di bulan ke-7 bisa menikmati KPR subsidi. Kedua, program tabungan. “Perlu ada produk tabungan yang diberikan kepada MBR sebelum mengajukan KPR untuk kebutuhan pembayaran sewa rumah dan perspapa yang muka,” tutur Budi.

Sementara untuk tahun ini, kata Budi, pengembang rumah subsidi bisa memanfaatkan produk KPR Maju dari BTN untuk melakukan penjualan jika kuota FLPP sudah habis. Produk tersebut merupakan bagian dari KPR komersial tetapi mirip-mirip dengan KPR subsidi. “Bunga KPR Maju ditetapkan 5% fixed selama 5 tahun. Tapi memang tenornya minimal 15 tahun. Mulai tahun ke-enam dikenakan bunga floating,” kata Budi. 

Sertifikat Elektronik Tanah

Di samping itu, REI juga menyoroti terkait kebijakan Sertifikat Elektronik Tanah. Menurut Roni H Adali, Ketua DPD REI Banten , kebijakan itu merupakan lompatan yang sangat besar, tapi di saat yang sama punya tantangan yaakni bagaiman jaminan keamanan data elektronik dalam hal pengakuan terhadap bukti kepemilikan atas tanah. Pasalnya, kasus sertifikat kepemilikan ganda masih cukup banyak terjadi.

“Kami sebagai pelaku usaha ingin Sertifikat Elektonik mampu memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak. Dan pemegang hak juga mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah yang telah didaftarkan,” tambahnya.

Sementara  menurut Allvin, sertipikat elektronik juga sangat erat kaitannya dengan proses penyaluran kredit di perbankan. Misalnya sebagai komponen dalam analisa kredit, khususnya agunan.

Baca Juga: BP Tapera Sebut Belum Tahu Pasti Kapan Iuran Bakal Mulai Ditarik

“Jika Sertifikat Elektronik menjadi jaminan kredit di bank, maka Hak Tanggungan (HT) pun akan menjadi E-HT. Bagaimana proses integrasi antara sistem BPN dengan Perbankan Pemberi Kredit maupun pihak Notaris / PPAT. Pengembang harus mengetahui teknisnya,” ungkap Arvin.

Demikian pula jika proses kredit pinjaman sudah diselesaikan oleh debitur. Maka tentu akan dilanjutkan dengan proses Roya elektronik oleh BPN sesuai informasi dari bank terkait.  Ia bilang, di beberapa kasus terjadi error sehingga Roya elektronik masih harus menunggu kembali. Hal ini harus diantisipasi karena Roya elektonik atas HT ini akan di template ke Sertifikat elektronik.

Oleh karena itu, REI melihat perlu perangkat keras, perangkat lunak dan SDM yang kompeten agar sertipikat elektronik mampu mengefisienkan proses pendaftaran tanah, pengecekan sertifikat dan bisa meningkatkan indikator kemudahan berusaha di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dina Hutauruk