REI diminta mengerti, kenapa suku bunga tinggi



JAKARTA. Keputusan Bank Indonesia (BI) mengerek suku bunga menjadi 7,5% mencemaskan para pengembang properti, khususnya mereka yang tergabung dalam organisasi Realestat Indonesia (REI). Suku bunga tinggi dinilai memberatkan para pengembang karena berpotensi menurunkan permintaan hunian. Menjawab kekhawatiran tersebut, Wakil Presiden Boediono meminta pengertian dari para pengembang untuk memahami kondisi ekonomi Indonesia. Menurut Wapres, suku bunga tinggi itu terjadi karena situasi transisi global saat ini setelah Amerika Serikat (AS) mengumumkan rencana pengetatan peredaran uangnya di dunia. Di masa lalu, lanjut Wapres, pembiayaan murah itu terjadi karena banyak uang modal bertebaran dan suku bunga rendah. Namun pada tahun 2014 mendatang, besar kemungkinan AS akan memulai proses pengetatan tersebut secara bertahap. “Kita tidak tahu kapan, apakah awal atau akhir. Yang jelas kita harus pandai-pandai mengatur kebijakan kita sendiri, jangan sampai ada lonjakan-lonjakan yang mengejutkan tapi juga jangan sampai kita tidak berbuat sesuatu sehingga kaget ketika tiba saatnya nanti,” ujar Mantan Gubernur Bank Indonesia ini, Senin (25/11). Wapres mengatakan bilang, proses transisi ini harus bisa ditangani dengan baik, khususnya di bidang pembiayaan. Tujuannya, agar dimasa transisi ini tidak terjadi lonjakan-lonjakan yang mengagetkan, sehingga ketika pengetatan kebijakan moneter AS dilakukan, Indonesia sudah siap. Kalau, pemerintah melawan arus global ini, maka Indonesia sendiri yang akan tergulung di dalamnya. "Jadi kita harus pandai-pandai melangkah dari rezim easy money ini ke rezim yang lebih normal dan itu harus kita kelola bersama," tutur Mantan Menteri Keuangan ini.

Wapres mengatakan bahwa otoritas moneter mengerti kondisi para pengembang properti, tapi otoritas moneter juga harus bisa melakukan keseimbangan plus dan minus atas pada situasi transisi ini. Apalagi kebutuhan hunian di negeri ini masih sangat tinggi yakni mencapai 15 juta unit di 2013 ini. Menurut Wapres, backlog atau kekurangan 15 juta rumah pada tahun 2013 berarti laju suplai tak bisa memenuhi perkembangan permintaan. Kekurangan suplai ini harus diwujudkan menjadi program-program operasional. “Kalau ada backlog, kita semua di pemerintahan mestinya perlu mempertanyakan di mana prioritasnya selama ini,” katanya. Wapres meminta agar prioritas utama diberikan kepada mereka yang berpenghasilan rendah, yang belum bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, dibanding kelompok masyarakat yang penghasilannya sudah menengah. Baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha maupun masyarakat sendiri harus bekerja bersama-sama menyatukan fokus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Hendra Gunawan