JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Kemaritiman resmi memberlakukan kebijakan moratorium atau penghentian sementara pengerjaan reklamasi di Teluk Jakarta, Senin (18/4). Keputusan ini diambil pemerintah, setelah sebelumnya proyek reklamasi yang digarap sejumlah pengembang properti terindikasi berbagai permasalahan. Masalah utama dari proyek reklamasi yang muncul ke permukaan publik adalah skandal korupsi. Dugaan korupsi proyek reklamasi tersebut menyeret sejumlah petinggi DPRD DKI dan perusahaan pemenang tender reklamasi.
Pada Kamis (31/3), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan tangkap tangan terhadap Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, M Sanusi dan Trinanda Prihartono, karyawan PT Agung Podomoro Land. Bahkan, keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap pembahasan rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (ZWP3K) dan Raperda Tata Ruang Kawasan Stategis Pantai Utara Jakarta. Raperda ZWP3K dan Raperda Tata Ruang Kawasan Stategis Pantai Utara Jakarta memiliki keterkaitan dengan proyek reklamasi untuk membuat 17 pulau buatan di Pantai Utara Jakarta. Selain Sanusi dan Trinanda, KPK juga telah menetapkan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja dengan dugaan yang sama. Sanusi diduga menerima uang suap dari Ariesman sebanyak dua kali. Pertama, Sanusi menerima Rp 1 miliar. Kemudian, pada penerimaan kedua, Sanusi menerima Rp 1 miliar lagi. Dalam operasi tangkap tangan, penyidik KPK baru mengamankan Rp 1,14 miliar. Karena menyangkut kebijakan publik, KPK menyebut kasus ini sebagai "grand corruption". Menurut Wakil Ketua KPK Laode M Syarief, KPK ingin menyasar korupsi besar yang melibatkan swasta dan pembuat undang-undang. Kasus ini menjadi contoh yang tepat menggambarkan grand corruption itu terjadi. "Bisa dibayangkan bagaimana kalau semua kebijakan publik dibikin bukan berdasarkan kepentingan rakyat banyak, tetapi hanya untuk mengakomodasi kepentingan orang tertentu atau korparasi tertentu," kata Syarief. Selain terindikasi korupsi, moratorium mega proyek reklamasi pantai utara Jakarta juga dilakukan lantaran pemerintah melihat adanya sejumlah penyimpangan. Rizal Ramli, Menko Kemaritiman mengatakan, penghentian tersebut dilakukan dengan beberapa pertimbangan. Salah satunya, rumit dan tumpang tindihnya aturan soal reklamasi. Sementara, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, selain rumit, dari aspek lingkungan, reklamasi tersebut juga berpotensi mengganggu lingkungan. Berdasarkan indikasi awal kementeriannya menemukan beberapa permasalahan lingkungan serius yang mewarnai pelaksanaan proyek tersebut. Permasalahan pertama, menyangkut sedimentasi atau pendangkalan. Berdasarkan temuan awal kementerian tersebut, ada proses pendangkalan yang cukup kuat terjadi di sekitar proyek reklamasi. "Selain itu, masalah air bersih, ada gangguan, tidak jelas persediaannya," kata Siti di Gedung DPR Senin (18/4). Permasalahan lain, menyangkut keterbukaan pengembang terhadap penggunaan material yang mereka gunakan untuk melakukan reklamasi. Siti mengatakan, semua pengembang yang dimintai keterangan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, material yang digunakan untuk reklamasi berasal dari Pulau Tunda di Banten. Dengan indikasi awal ini, lanjut Siti, Kementerian LHK berhak turun tangan mengawasi proyek reklamasi Teluk Jakarta sesuai Pasal 73 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal tersebut menyebutkan menteri dapat melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup."Kita ketemu petani nelayan sudah ada indikasi awalnya," kata dia. Atas dasar ini, Siti mengaku akan mengeluarkan keputusan menteri untuk menghentikan sementara proyek reklamasi Teluk Jakarta. Siti meminta dokumen perencanaan terkait kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) harus segera diselesaikan jika proyek reklamasi ini hendak dilanjutkan. "Untuk saat ini, kita hentikan sementara, nanti selanjutnya bisa dibekukan, atau paling berat izinnya bisa kita cabut," ucap Siti. Keputusan untuk menghentikan sementara reklamasi Teluk Jakarta ini pun dijadikan kesimpulan rapat antara Komisi IV dan Kementerian LHK. Pengembang 17 pulau di Teluk Jakarta Asal tahu saja, dalam mega proyek Teluk Jakarta, ada sembilan perusahaan yang mendapatkan jatah mereklamasi 17 pulau. Perusahaan tersebut antara lain, PT Agung Sedayu, PT Agung Podomoro Land, PT Taman Harapan Indah, PT Jaladri Eka Paksi, dan PT Pembangunan Jaya Ancol. Saat ini luas pulau di Pantura Jakarta yang direklamasi bervariasi dari 63 hektar hingga 481 hektar dengan total seluruh pulau sebesar 5.100 hektar. Izin tiap puau saat ini sendiri dikeluarkan secara terpisah. Hingga saat ini, terdapat sepuluh pulau yang sudah mengantongi izin amdal dan pelaksanaan reklamasi. Kesepuluh pulau tersebut adalah: 1. Pulau C seluas 276 hektar dikembangkan oleh PT Kapuk Naga Indah 2. Pulau D seluas 312 hektar dikembangkan oleh PT Kapuk Naga Indah 3. Pulau E seluas 284 hektar dikembangkan oleh PT Kapuk Naga Indah 4. Pulau F seluas 190 hektar dikembangkan oleh PT Jakarta Propertindo 5. Pulau G seluas 161 hektar dikembangkan oleh PT Muara Wisesa Samudera 6. Pulau H seluas 63 hektar dikembangkan oleh PT Intiland Development 7. Pulau I seluas 405 hektar dikembangkan oleh PT Jaladri Kartika Ekapaksi 8. Pulau K seluas 32 hektar dikembangkan oleh PT Pembangunan Jaya Ancol 9. Pulau L seluas 481 hektar dikembangkan oleh PT Manggala Krida Yudha 10. Pulau N seluas 411 hektar dikembangkan oleh PT Pelindo II Sementara tujuh pulau lainnya belum mendapat izin Amdal dan pelaksanaan reklamasi. Ketujuh pulau tersebut adalah: 1. Pulau A seluas 79 hektar dikembangkan oleh PT Kapuk Naga Indah 2. Pulau B seluas 380 hektar dikembangkan oleh PT Kapuk Naga Indah 3. Pulau J seluas 316 hektar dikembangkan oleh PT Pembangunan Jaya Ancol 4. Pulau M seluas 587 hektar dikembangkan oleh PT Manggala Krida Yudha 5. Pulau O seluas 344 hektar dikembangkan oleh PT KEK Marunda 6. Pulau P seluas 463 hektar dikembangkan oleh PT KEK Marunda 7. Pulau Q seluas 369 hektar dikembangkan oleh PT KEK Marunda PT Kapuk Naga Indah tercatat menjadi pengembang yang paling banyak mendapat bagian. Anak perusahaan dari Agung Sedayu Group ini tercatat akan menggarap lima pulau, masing-masing Pulau A, B, C, D, dan E. Untuk Pulau F pembangunannya akan diserahkan kepada PT Jakarta Propertindo, Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudera yang merupakan entitas usaha APLN, dan Pulau H yang diambil PT Taman Harapan Indah. Tidak semua pulau akan dibangun oleh satu pengembang. Sebab, ada beberapa pulau yang dibangun atas kerja sama dari dua pengembang. Pulau-pulau tersebut, seperti Pulau I yang pembangunannya diserahkan kepada PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk dan PT Jaladri Eka Pasti, Pulau L ke PT Manggala Krida Yudha dan PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, serta Pulau M ke PT Manggala Krida Yudha dan PT Pelindo II. Sementara itu, pembangunan Pulau J dan K akan diserahkan kepada PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, Pulau N untuk PT Pelindo II, Pulau O kepada PT Jakarta Propertindo, serta Pulau P dan Q untuk PT KEK Marunda. Pembangunan lahan di atas laut tersebut tidak bisa dikatakan murah. Untuk membangun satu meter kubik dibutuhkan dana sekitar Rp 4 juta. Bahkan, Executive Marketing Director PT Muara Wisesa Samudra, Matius Jusuf, memperkirakan, harga lahan rekayasa sekitar Rp 10 juta per meter kubik dengan kedalaman 7,5 meter. Dengan ongkos produksi setinggi itu, dapat dipastikan harga properti yang ditawarkan pun sangat tinggi. Bisa menembus angka belasan hingga puluhan juta rupiah per meter persegi. Ambil contoh Pantai Mutiara yang dikembangkan PT Intiland Development Tbk. Menurut Vice President Director and Chief Operating Officer Jakarta PT Intiland Development Tbk, Suhendro Prabowo, potensi mendapat keuntungan berlipat dari menjual properti di lahan reklamasi, lebih besar ketimbang lahan daratan. "Harga kavling kanal (di atas lahan reklamasi) di Pantai Mutiara sekitar Rp 30 juta per meter persegi untuk harga terendah, dan Rp 40 juta per meter persegi untuk harga tertinggi," ujar Suhendro kepada Kompas.com. Angka ini jauh lebih mahal ketimbang kavling daratnya di kawasan yang sama senilai Rp 15 juta sampai Rp 20 juta per meter persegi. Dengan potensi keuntungan yang menggiurkan tersebut, tentu saja, para pengembang properti rela menggelontorkan dana investasi tidak sedikit untuk menggarap proyek reklamasi. Karena itu, reklamasi telah lama menjadi jalan bagi para pengembang properti untuk mengembangkan bisnisnya. Contohnya pada 1985, pembangunan properti dengan cara reklamasi di Jakarta telah dilakukan PT Intiland Development Tbk dan PT Global Eka Buana. Perusahaan tersebut menjadi pengembang pertama yang melakukan reklamasi di Pantai Mutiara, Jakarta Utara. Proyek reklamasi ini pun disebut-sebut sebagai yang pertama di wilayah Asia Tenggara. Sukses dengan reklamasi Pantai Mutiara, Jakarta Utara, Intiland kini mengembangkan Regatta di lahan reklamasi paling ujung, seluas 11 hektar. Di era moderen, rencana reklamasi pantai utara Jakarta mulai ditetapkan di tahun 1995, dengan terbitnya Keputusan Presiden No. 52 tahun 1995. Rencana reklamasi pantai utara Jakarta kembali ditindaklanjuti lebih serius di masa kepemimpinan Gubernur Fauzi, dan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang baru menjabat sejak Oktober 2014. Proyek reklamasi dan revitalisasi di pantai utara Jakarta ditujukan untuk membangun kawasan tersebut menjadi daerah kawasan aktivitas bisnis, perekonomian maupun pemukiman. Dengan gagasan itu juga, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan beberapa perusahaan mitra kerjanya ingin menjadikan Jakarta sebagai “Water Front City”. Izin reklamasi Yang jadi pertanyaan, sejak kapan proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta mulai muncul? Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, kasus reklamasi Teluk Jakarta ini merupakan persoalan lama sejak zaman kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dan dilanjutkan di era Gubernur Basuki Thajaja Purnama (Ahok). "Izin pertama zamannya Fauzi Bowo, kemudian era Gubernur DKI Joko Widodo tidak melakukan apa-apa, dan izin pembangunannya kalau saya tidak salah ketika kepemimpinan Gubernur Ahok," katanya. Pendapat Agus, boleh jadi, ada benarnya. Nyatanya, pelaksanaan reklamasi di Teluk Jakarta tidak lepas dari peran Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta. Contohnya pada 21 September 2012. Ketika itu, pada masa DKI Jakarta dipimpin Gubernur Fauzi Bowo (Foke), pernah terbit empat persetujuan prinsip reklamasi. 1. Surat Gubernur No. 1290/-1.794.2 tentang Persetujuan Prinsip Reklamasi Pulau F Kepada PTJakarta Propertindo; 2. Surat Gubernur No. 1291/-1.794.2 tetang Persetujuan Prinsip Reklamasi Pulau G atas nama PT Muara Wisesa Samudra; 3. Surat Gubernur No. 1292/-1.794.2 tentang Persetujuan Prinsip Reklamasi Pulau I Kepada PT Jaladri Kartika Pakci; 4. Surat Gubernur No. 1295/-1.794.2 tentang Persetujuan Prinsip Reklamasi Pulau K kepada PTPembangunan Jaya Ancol, Tbk. Setelah itu, pada 19 September 2012 terbit Pergub DKI Jakarta No.121 Tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantura Jakarta. Selanjutnya, pada masa DKI Jakarta dipimpin Plt Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, pada10 Juni 2014 terbit empat surat perpanjangan persetujuan prinsip reklamasi dari 1 Juni 2014 hingga 23 Juli 2014, yakni masing-masing: 1. Surat Gubernur No. 544/-1.794.2 tentang Perpanjangan Persetujuan Prinsip Reklamasi Pulau F kepada PT. Jakarta Propertindo; 2. Surat Gubernur No. 541/-1.794.2 tentang Perpanjangan Persetujuan Prinsip Reklamasi Pulau I kepada PT Jaladri Kartika Pakci; 3. Surat Gubernur Nomor 540/-1.794.2 tentang Persetujuan Prinsip Reklamasi Pulau K kepada PT. Pembangunan Jaya Ancol, Tbk 4. Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 542/-1.794.2tentang Perpanjangan Izin Prinsip Reklamasi Pulau G. Lalu, pada 23 Desember 2014 Gubernur Ahok menerbitkan Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G Kepada PT. Muara Wisesa Samudra. Selanjutnya, pada 2 Oktober 2015Gubernur Ahok menerbitkan Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F dan Pulau I. Dan, pada 17 November 2015 Gubernur Ahok menerbitkan Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K. Toh, Ahok menampik tudingan perizinan reklamasi Teluk Jakarta diterbitkan pada masa pemerintahannya. Ahok menegaskan, dirinya hanya memperpanjang izin reklamasi 17 pulau yang telah diterbitkan Gubernur Jakarta sebelumnya yaitu Fauzi Bowo alias Foke. Sehingga sifat dari izin tersebut bukanlah penerbitan izin baru. "Saya tidak tahu kalau itu dianggap menyalahi aturan. Karena sifatnya bukan kasih izin baru kan? Itu hanya melanjutkan izin reklamasi 17 pulau yang dikeluarkan Foke," kata Ahok. Ahok menjelaskan, izin reklamasi ini tidak bisa dibatalkan begitu saja. Sebab penerbitan izin oleh Gubernur terdahulunya itu berlandaskan pada Keputusan Presiden Nomor 52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara. Menurutnya yang bisa dibatalkan ialah pengajuan izin untuk reklamasi baru. Dalam proyek reklamasi, ada beberapa perizinan yang harus dipenuhi pengembang sebelum melakukan reklamasi yaitu izin prinsip reklamasi, izin pelaksanaan reklamasi, dan izin pemanfaatan reklamasi. Dalam izin prinsip, pengembang wajib melakukan kajian seperti thermodinamika, Detail Enginering Desain (DED), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL), dan kajian lainnya.
Kajian tersebut akan dinilai oleh tim independen di bawah koordinasi Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD). Setelah terpenuhi, pengembang akan mendapatkan izin pelaksanaan. Hingga saat ini, baru dua perusahaan pengembang yang mendapat izin pelaksanaan yaitu PT Muara Wisesa Samudera, anak perusahaan Grup Agung Podomoro, untuk reklamasi Pulau G pada 2014 dan PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan Agung Sedayu Group, untuk reklamasi pulau C, D, dan E pada 2012 di era kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo. Lantas, akankah reklamasi di Teluk Jakarta akan kembali berlanjut? Atau sebaliknya, reklamasi Teluk Jakarta akan menjadi sebuah sejarah? Kita lihat nanti. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dikky Setiawan