Rekomendasi perbaikan navigasi Terminal 3 terbit



JAKARTA. Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan mengeluarkan rekomendasi untuk perbaikan sistem navigasi di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.

Rekomendasi itu ditujukan kepada Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI/Airnav Indonesia) dan PT Angkasa Pura II (Persero), kata Direktur Navigasi Penerbangan Kementerian Perhubungan Novie Riyanto dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (25/6).

Ia mengatakan rekomendasi pertama yaitu peningkatan level "airport surface movement ground control system" (ASMGCS) dari level 1 menjadi level 2.


Dia menjelaskan ASMGCS merupakan alat bantu yang berfungsi untuk pengamatan dan deteksi konflik di lalu lintas pesawat udara serta kendaraan yang bergerak di "manuvering area", yaitu landasan pacu (runway) dan landasan hubung (taxiway).

Menara pengatur lalu lintas udara (ATC) di Bandara Soetta tidak bisa memantau pergerakan pesawat udara secara langsung (visual/eye view), baik di apron, landasan pacu, maupun di landasan hubung karena tertutup tinggi gedung terminal.

"Kalau hanya level 1 hanya untuk memonitor yang ada di 'ground', tetapi kalau sudah level 2, bisa mendeteksi jarak pergerakan pesawat di depan dan belakang serta memantau kendaraan yang lain, seperti kendaraan 'catering', 'push back', 'ground handling' dan sebagainya," katanya.

Kedua, lanjut dia, penambahan "sub tower" untuk mengatur pergerakan di apron (apron movement control), di mana merupakan wilayah AP II.

Novie menjelaskan meskipun sudah ada sistem ASMGCS, namun "sub tower" masih diperlukan untuk mengatur pergerakan peswat dan kendaraan lainnya di apron.

"ASMGCS ini lebih kepada lalu lintas peswat udara di sisi udara, dalam hal ini LPPNPI, tapi kalau AMC ini dari apron ke 'manuvering area' yang diatur oleh AP II," katanya.

Namun, lanjut dia, setiap kendaraan yang bergerak di area tersebut harus dipasang "squitter" semacam transponder agar bisa terlacak keberadaan dan pergerakannya.

"Harus dilengkapi dengan 'extended squitter' dan untuk berkomunikasi harus menggunakan frekuensi VHF karena ini standar 'tower', bukan UHF," katanya.

Terkait standar keselamatan, dia menuturkan bahwa ASMGCS merupakan standar internasional yang sudah diterapkan di sejumlah bandara di dunia sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor KP 103 Tahun 2015 Tentang Standar Teknis dan Operasi Manual, Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (CASR) Nomor 172, Bagian 02 Tentang Spesifikasi Teknis Telekomunikasi Penerbangan.

Rekomendasi ketiga, Novie menuturkan, yaitu penyediaan personel yang berkompeten, untuk AMC yang memiliki keahlian pengendalian lalu lintas pesawat udara dan kendaraan di apron, personel pemandu lalu lintas yang ahli menggunakan ASMGCS di area pergerakan pesawat (manuvering area) serta personel teknik telekomunikasi untuk pemeliharan peralatan tersebut.

Keempat, yaitu adanya prosedur operasi standar (SOP) untuk mengidentifikasi pesawat udara yang berada di dekat area pergerakan, prosedur koordinasi antara unit menara ATC utama dengan unit sub tower untuk pengaturan lalu lintas pesawat udara, adanya "letter of operational coordination agreement" (LOCA) antara tower utama dengan AMC serta prosedur pengaturan lalu lintas pesawat udara di apron.

Novie mengatakan untuk perkembangan pemenuhan syarat-syarat tersebut diserahkan kepada LPPNPI dan AP II, namun diharapkan lebih cepat lebih baik.

"AP II juga tengah membangun 'sub tower' minimal 13 meter dengan konstruksi baja karena dia tidak boleh goyang apabila terkena angin," katanya.

Apabila seluruh persyaratan tersebut telah dipenuhi dan sesuai dengan standar, dia mengatakan maka mempercepat pula penerbitan izin operasi.

"Tentunya harus dipenuhi juga aspek-aspek di sisi darat atau terminal, selain di sisi udara," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan