Rekomendasi Saham Migas & Batubara Pilihan Mencermati Momentum di Sektor Energi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga komoditas energi dunia bergerak dengan volatilitas tinggi dalam beberapa pekan ini. Setelah sempat mendaki, harga komoditas minyak dan gas (migas) dan batubara kini berbalik melandai.

Merujuk Trading Economics, Harga West Texas Intermediate (WTI) mengawali pekan ini dengan penurunan sekitar 2% ke level US$ 74 per barel. Sedangkan harga Brent anjlok 1,90% ke posisi US$ 77,5 per barel. 

Harga gas alam ikut merosot 2,7% ke level US$ 2.559 per MMBtu. Begitu juga harga batubara yang sempat naik menembus level US$ 150 pada pekan lalu, kini kembali merosot ke area US$ 149,4 per ton.


Volatilitas harga komoditas menular ke laju saham-saham emiten di sektor energi. Di saat mayoritas indeks sektoral menguat, sektor energi justru anjlok 0,77% pada pekan lalu.

Membuka pekan ini, indeks sektor energi justru menanjak 1,04% pada Senin (14/10). Sektor energi pun masih kokoh di puncak, jauh memimpin dengan lonjakan 31,10% secara year to date dibandingkan indeks sektoral yang lain.

Baca Juga: Penjualan Mobil Astra (ASII) Turun, Intip Prospek dan Rekomendasi Sahamnya

Head of Research NH Korindo Sekuritas Indonesia Liza Camelia Suryanata menyoroti tiga faktor utama yang saat ini memengaruhi outlook komoditas energi global. Pertama, masih seputar eskalasi geopolitik di Timur Tengah, yang terutama melibatkan Israel vs Iran.

Sentimen ini punya peranan penting lantaran Iran merupakan salah satu produsen minyak terbesar dunia, yang menyumbang sekitar 3 juta barel minyak per hari. Kedua, efek pemangkasan suku bunga terutama dari bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed.

Secara teori, pemotongan suku bunga akan mendongkrak ekonomi karena biaya pinjaman yang turun bisa membantu perusahaan untuk menggenjot kinerja.

"Jika perusahaan berjalan dengan baik, maka permintaan energi juga akan meningkat. Dengan tren suku bunga AS turun, diharapkan demand energi akan membaik," kata Liza kepada Kontan.co.id, Senin (14/10).

Ketiga, faktor permintaan energi global, terutama dari China sebagai konsumen utama. Perlambatan ekonomi masih membayangi China meski berulang kali meluncurkan stimulus ekonomi. Stimulus teranyar yang dikucurkan China sejauh ini tampak hanya berdampak sementara mendongkrak harga komoditas logam dan energi.

Research Analyst Phintraco Sekuritas Muhamad Heru Mustofa menambahkan, faktor lain yang berpengaruh terhadap fluktuasi harga minyak adalah Badai Milton yang terjadi di Florida, AS. Di sisi lain, kecenderungan AS untuk menahan Israel agar tidak menyerang fasilitas produksi minyak Iran cukup meredam kekhawatiran akan gangguan pasokan.

Sementara untuk batubara, ada efek cuaca dari hujan lebat di China yang mengganggu produksi ketika permintaan berpeluang naik. Faktor lainnya, penurunan produksi energi terbarukan sekitar 16%, yang diikuti oleh peningkatan 15% pada pembangkit listrik batubara dalam sepekan terakhir di India. 

Mempertimbangkan situasi tersebut, Heru menaksir harga minyak mentah dunia bakal berfluktuasi di rentang US$ 72 - US$ 77 per barel. Namun jika tensi Israel vs Iran memanas, bahkan meluas melibatkan negara lain, maka harga minyak berpotensi melonjak hingga US$ 80 per barel.

Sedangkan harga batubara diperkirakan akan berfluktuasi di area US$ 145 - US$ 155 per ton sampai tutup tahun 2024. "Seiring dengan tingginya permintaan di tengah pasokan yang terganggu," terang Heru.

Baca Juga: Skema Pungut Salur Batubara Bakal Menguntungkan Emiten Tambang

Research Analyst Stocknow.id Emil Fajrizki melihat harga minyak masih menyimpan peluang untuk berfluktuasi pada area US$ 80 - US$ 95 per barel dalam jangka pendek atau hingga akhir tahun 2024, tergantung dari dinamika geopolitik dan data ekonomi global. Sementara harga batubara di kisaran US$ 140 - US$ 160 per ton.

Sementara itu, Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas memprediksi outlook harga minyak akan bergerak di rentang US$ 71 - US$ 77 per barel. Sukarno menilai harga batubara berpeluang kembali mendaki dengan potensi bertahan di atas level US$ 150 per ton.

Dengan outlook harga tersebut, Sukarno melihat kinerja emiten dan laju saham di sektor energi berpotensi kembali menguat. Adapun, selain efek fluktuasi harga komoditas, pelemahan saham sektor energi pada pekan lalu turut disebabkan aksi profit taking usai kenaikan yang cukup signifikan.

Emil mengamini, pelaku pasar perlu mewaspadai risiko profit taking dan koreksi harga yang lebih besar, jika ada indikasi pelemahan harga dan permintaan, atau perubahan regulasi di sektor energi. Tapi menjelang musim rilis kinerja periode kuartal III-2024, Emil menaksir emiten energi akan membukukan hasil yang cenderung positif.

Heru sepakat, investor bisa mulai mencermati sektor energi menjelang musim rilis laporan keuangan kuartal III-2024. "Kami menilai kinerja emiten sektor energi relatif terjaga bahkan meningkat seiring dengan volatilitas harga komoditas dunia yang terjadi akhir-akhir ini," terang Heru.

 
INDY Chart by TradingView

Heru memprediksi permintaan terhadap batubara maupun minyak mentah akan meningkat menjelang akhir tahun 2024. Kondisi harga dan pasar komoditas energi belakangan ini juga berpotensi mendongkrak performa emiten energi pada periode semester II-2024.

Heru menyarankan strategi yang bervariasi untuk saham-saham energi. Dia merekomendasikan trading buy saham PT Indika Energy Tbk (INDY). Kemudian buy on support saham PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) dan PT AKR Corporindo Tbk (AKRA).

Selanjutnya, wait and see pada saham PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) dan PT Elnusa Tbk (ELSA). Sedangkan Emil menjagokan saham PTBA, PT Harum Energy Tbk (HRUM) dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI), dengan target harga masing-masing di level Rp 4.100, Rp 1.465 dan Rp 200.

Sukarno menyodorkan saham ADRO, ITMG, HRUM, BUMI dan PTBA untuk emiten batubara. Sementara pada saham migas, Sukarno menyarankan MEDC, ELSA, AKRA dan PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) sebagai pilihan jangka pendek.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari