Rekor baru utang korporat



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Realisasi penerbitan surat utang oleh korporasi sudah menembus rekor tahun lalu. Berdasarkan data Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), per 20 Oktober 2017, total penerbitan obligasi korporasi sudah mencapai angka Rp 122,46 triliun. Angka ini menanjak 7,71% dari total penerbitan obligasi korporasi di tahun 2016 silam, yang sebesar Rp 113,69 triliun.

Pemotongan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atawa BI 7-day reverse repo rate membuat penerbitan obligasi korporasi tumbuh pesat. "Penurunan suku bunga secara otomatis akan menurunkan yield obligasi dan berdampak pada turunnya cost of fund perusahaan dalam menerbitkan obligasi," kata Nicodimus Anggi Kristiantoro, Analis Indonesia Bond Pricing Agency, Selasa (24/10).

Fundamental ekonomi dalam negeri yang positif, seperti inflasi yang terkendali dan nilai tukar rupiah yang stabil, juga mendukung pasar obligasi. Banyak perusahaan yang memanfaatkan kondisi ini untuk mengeruk dana segar semaksimal mungkin dengan kupon yang minimalis.


Analis Obligasi Bank Negara Indonesia (BNI) Ariawan mencontohkan, untuk obligasi korporasi yang mendapatkan rating AAA, kini kupon obligasinya sudah di bawah 8%. Kupon tersebut untuk obligasi tenor lima tahun.

Walau terjadi penurunan kupon, namun permintaan obligasi korporasi masih membludak. Investor masih mengincar obligasi korporasi lantaran menawarkan kupon lebih tinggi ketimbang obligasi pemerintah.

Belum lagi, institusi perbankan juga mulai melirik obligasi korporasi. "Oleh karena itu, dari sisi demand cukup besar dan obligasi yang terbit tahun depan mampu diserap pasar," kata Ariawan.

Ramainya penerbitan obligasi korporasi juga membuat likuiditas obligasi korporasi membaik dan jadi lebih tinggi dari tahun sebelumnya. "Apalagi corporate bond dari BUMN bisa dianggap sebagai obligasi pemerintah untuk memenuhi kewajiban kepemilikan institusi keuangan non bank," ungkap Ariawan.

Risiko dari eksternal

Namun, risiko yang muncul dari berinvestasi di obligasi korporasi pun lebih besar ketimbang surat utang pemerintah. Karena itu, investor perlu memperhatikan berbagai sentimen, baik dari eksternal maupun internal.

Sentimen eksternal di antaranya rencana The Fed menaikkan suku bunga acuan pada Desember mendatang. Saat ini saja, peluang kenaikan Fed funds rate sudah mencapai 80%. Tapi Nico menilai pasar obligasi dalam negeri saat ini masih cukup kuat menghadapi sentimen tersebut.

Pelaku pasar justru lebih mencemaskan proses pemilihan Gubernur The Fed pengganti Janet Yellen. "Karena hal ini akan menentukan arah kebijakan The Fed selanjutnya," jelas Nico.

Asal tahu saja, belakangan nama John Taylor ramai dijagokan untuk memegang kendali bank sentral di Negeri Paman Sam tersebut. Selain karena dekat dengan Presiden Donald Trump, Taylor juga lebih hawkish dan berniat mengerek suku bunga acuan lebih tinggi lagi.

Ariawan bilang, bila Fed funds rate naik, maka peluang kenaikan yield di 2018 kian terbuka. "Kenaikan suku bunga AS membuat yield US treasury dan yield secara global, termasuk Indonesia, berpotensi naik," ujar dia.

Namun, kenaikan yield surat utang Indonesia tidak akan terlalu tinggi. Ariawan memperkirakan yield SUN dengan tenor 10 tahun di akhir tahun ini mencapai 6,68%.

Alasannya, kondisi makroekonomi masih positif. Tingkat inflasi berada di level yang rendah, pertumbuhan ekonomi menunjukkan peningkatan dan kurs rupiah stabil. Minat investor asing pada surat utang Indonesia juga masih cukup besar. Jadi harga obligasi masih bisa naik.

Ariawan memprediksi penerbitan obligasi korporasi di 2017 ini bisa mencapai Rp 150 triliun. Alasannya, obligasi berkelanjutan yang belum diterbitkan masih cukup besar, belum lagi ditambah obligasi baru yang akan terbit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati