Reksadana di SBN tumbuh lebih pelan



JAKARTA. Pertumbuhan kepemilikan reksadana pada Surat Berharga Negara (SBN) tahun ini disinyalir tidak akan segemuk tahun lalu. Bursa domestik berpotensi pulih dan suku bunga acuan Bank Indonesia alias BI rate berpeluang turun.

Situs Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat, sepanjang tahun 2015, kepemilikan reksadana pada SBN yang dapat diperdagangkan bertambah sebesar Rp 15,81 triliun menjadi Rp 61,6 triliun.

Dus, porsi reksadana di SBN naik menjadi 4,21% dibandingkan akhir 2014, yaitu hanya 3,78%. Analis Sucorinvest Central Gani Ariawan menyebut, penempatan aset reksadana dalam SBN memang tumbuh pesat sepanjang tahun lalu.


Maklum, saat itu, pasar domestik bergejolak akibat ketidakpastian eksternal, seperti spekulasi kenaikan suku bunga The Fed, serta aksi China mendevaluasi mata uang yuan. Pasar negara-negara berkembang juga sempat tergerus akibat peristiwa gagal bayar utang Yunani.

Imbasnya, investor reksadana cenderung beralih dari instrumen berisiko, seperti efek saham ke instrumen kurang berisiko, seperti obligasi pemerintah. Asal tahu saja, sepanjang 2015, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot 12,12%.

Sedangkan, pada periode yang sama, rata-rata harga obligasi pemerintah yang tercermin pada INDOBeX Government Clean Price hanya minus 5,02%. “Ini mengindikasikan tipikal investor reksadana memilih masuk ke reksadana yang lebih aman, seperti reksadana pendapatan tetap saat pasar fluktuatif,” jelas Ariawan.

Sehingga kenaikan permintaan investor mendorong manajer investasi menambah koleksi obligasi negara. Ia optimistis, pada tahun ini, penempatan reksadana di SBN masih akan menggemuk.

Manajer investasi biasanya mengkombinasikan obligasi bertenor pendek, menengah hingga panjang sesuai kebutuhan dan strategi masing-masing. "Namun, pertumbuhannya lebih minim dibandingkan tahun lalu," proyeksinya.

Research Analyst Infovesta Utama Mark Prawirodidjojo sependapat, penambahan kepemilikan reksadana dalam SBN tahun ini lebih pelan ketimbang tahun lalu. Kondisi pasar modal tahun ini disinyalir lebih stabil. Indikasinya, ekonomi makro domestik membaik.

Pertumbuhan ekonomi tahun 2016 diprediksi mencapai 5,3%, dan inflasi diduga terjaga di 4% (±1%). “Sehingga, fokus pasar cenderung beralih ke investasi berbentuk saham dibandingkan obligasi,” paparnya.

Investor akan mengejar imbal hasil lebih tinggi dengan memarkir dana pada instrumen lebih berisiko, seperti saham maupun reksadana saham. Artinya, kebutuhan manajer investasi terhadap efek saham jadi lebih besar ketimbang efek surat utang.

Efek BI rate

Apalagi, kata Ariawan, dengan inflasi terkendali membuka peluang bagi Bank Indonesia (BI) memangkas BI rate yang saat ini bertengger di level 7,5%. Efeknya, yield Surat Utang Negara (SUN) juga berpotensi mengecil.

“Manajer investasi akan masuk ke obligasi korporasi yang memberikan return lebih menarik dibandingkan obligasi negara. Permintaan SBN tahun ini diprediksi tidak sebesar tahun lalu,” ujarnya.

Selama ini, mayoritas manajer investasi menggenggam SUN hingga jatuh tempo alias hold to maturity. Itu sebabnya, mereka cenderung memilih instrumen investasi yang memberikan imbal hasil tinggi.

Hanya sebagian manajer investasi yang melakukan trading SUN untuk memperoleh kenaikan harga (capital gain). Ariawan memperkirakan, akhir 2016, porsi reksadana dalam SBN bisa Rp 75 triliun-Rp 80 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie