KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam sembilan pertama tahun ini, dana kelolaan atau
assets under management (AUM) industri reksadana turun. Merujuk data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), AUM industri reksadana tinggal Rp 551,76 triliun pada September 2021. Ini membuat AUM industri reksadana turun sekitar Rp 21,78 triliun atau 3,80% secara
year to date (ytd). Pasalnya, pada akhir Desember 2020, jumlah dana kelolaan industri reksadana masih sebesar Rp 573,54 triliun. Di sisi lain, reksadana global merupakan reksadana yang mencatatkan pertumbuhan AUM paling tinggi sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini, yakni naik 33,28%. Wawan meyakini hal ini tidak terlepas dari masih terbatasnya pilihan investasi bagi investor
high network yang memiliki kebutuhan dolar Amerika Serikat (AS).
Reksadana global pada akhirnya menjadi wadah bagi para investor tersebut seiring menawarkan potensi yang menarik. Terlebih lagi, perbaikan ekonomi di negara seperti AS dan China jauh lebih baik sehingga dari sisi kinerja reksadana global mengalami pertumbuhan yang cukup baik. Alhasil, pertumbuhan aset tersebut ikut mendorong naiknya AUM reksadana global. Sementara itu, faktor utama penyebab turunnya dana kelolaan tersebut adalah AUM reksadana terproteksi yang turun tajam. Tercatat, dana kelolaannya turun dari Rp 145,27 triliun menjadi Rp 97,47 triliun di akhir September 2021. Ini membuat AUM reksadana terproteksi turun 32,90% secara ytd.
Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana menjelaskan, penurunan tersebut tidak terlepas dari banyaknya produk reksadana terproteksi yang jatuh tempo namun tidak diperbarui dengan produk baru. Hal ini imbas dari adanya perubahan pajak obligasi dari semula 15% menjadi 10%.
Baca Juga: Dana kelolaan industri reksadana naik Rp 9,23 triliun pada September 2021 Alhasil, para investor melihat reksadana terproteksi tidak menawarkan imbal hasil yang menarik, dan lebih baik pegang obligasi langsung. Pasalnya, di reksadana terproteksi masih ada biaya administrasi dan bank kustodian. “Tapi, di luar reksadana terproteksi, jenis reksadana lain masih mencatatkan pertumbuhan AUM. Ini menandakan industri reksadana kita masih terus tumbuh,” kata Wawan kepada Kontan.co.id, Jumat (8/10).
Head of Business Development Division Henan Putihrai Asset Management Reza Fahmi menambahkan, kondisi pasar reksadana sebenarnya cukup dibayangi beberapa sentimen negatif. Mulai dari anjloknya indeks pada masa pandemi variant Delta, sentimen
tapering, masalah yang dihadapi pasar Asia terkait Evergrande, hingga kebijakan pajak obligasi yang diturunkan. “Namun sebetulnya jumlah investor ritel reksadana justru terus bertambah sepanjang tahun ini, khususnya dari sisi generasi Z dan milenials. Hal ini pada akhirnya ikut membantu meningkatkan iklim investasi di industri reksadana,” imbuh Reza.
Baca Juga: Ditunjang pemulihan ekonomi, dana kelolaan reksadana masih akan membesar Adapun, berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), jumlah investor reksadana sudah mencapai 5,78 juta per September 2021. Jumlah tersebut mengalami kenaikan hingga 82,18% seiring pada akhir 2020 jumlahnya masih 3,18 juta investor.
Reza meyakini, tren ini masih akan terus berlanjut ke depan mengingat potensi reksadana di Indonesia masih sangat tinggi. Apalagi, kini semakin timbul kesadaran akan pentingnya investasi dan ditunjang dengan literasi keuangan yang semakin baik. Selain itu, mudahnya akses untuk membeli produk reksadana juga akan terus mendorong pertumbuhan. Senada, Wawan juga meyakini walaupun secara nominal para investor ritel baru ini masih relatif minim, tetapi secara jangka panjang justru akan punya dampak baik. Dengan bertambahnya pengetahuan dan pengalaman para investor baru tersebut, diiringi dengan pemasukan yang lebih besar, nantinya nominal yang diinvestasikan akan semakin besar. “Jadi secara jangka panjang industri reksadana masih akan punya prospek pertumbuhan yang menjanjikan,” pungkas Wawan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari