Reksadana pendapatan tetap belum tersokong penurunan suku bunga



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI), sebesar 25 basis poin menjadi 5,25%, belum signifikan mendongkrak kinerja pasar obligasi. Meski begitu para manajer investasi optimistis kinerja reksadana pendapatan tetap yang memiliki aset dasar obligasi, bisa menorehkan kinerja optimal di tahun ini.

Secara teori, penurunan suku bunga akan membuat yield obligasi turun dan harga obligasi naik. Namun, Direktur Bahana TCW Investment Management Soni Wibowo mengamati penurunan suku bunga beberapa waktu lalu hampir tidak berdampak pada harga obligasi.

Tercatat, sebelum dan sesudah BI menurunkan suku bunga acuannya, posisi yield seri acuan tenor 10 tahun FR0078 stagnan di 7,2%. Jika yield bergerak stagnan maka harga obligasi juga tidak banyak berubah.


Baca Juga: Suku Bunga Turun, Reksadana Pendapatan Tetap Belum Ketiban Berkat premium

Soni mengatakan harga obligasi belum naik karena investor asing masih ragu untuk menginvestasikan dana lebih besar lagi di pasar obligasi domestik.

"Indonesia masih memiliki current account deficit dan budget deficit," kata Soni, Jumat (20/9).

Selain itu, investor asing juga bersikap wait and see menantikan pembentukan kabinet baru. Sementara, di sisi lain investor domestik sudah banyak masuk (fully invested) di pasar obligasi.  Tak heran bila tidak banyak perubahan harga obligasi yang terjadi setelah BI memangkas suku bunga acuannya.

Soni juga mengkhawatirkan perang dagang dan geopolitik memberi sentimen negatif pada pasar obligasi. Belum lagi, ada hal yang lebih serius, yaitu perlambatan pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia. 

Menurut Soni ekonomi lambat membuat yield obligasi jadi sangat rendah dan investor global khawatir akan terjadi banjir (bubble) pasokan obligasi.

"Jadinya, investor asing masih wait and see sehingga inflow ke pasar obligasi domestik tidak akan sekencang di semester I-2019," kata Soni.

Senada, Head of Investment Avrist Asset Management Farash Farich mengatakan pasar obligasi terdistorsi pada proyeksi kebijakan pemangkasan suku bunga The Fed selanjutnya.

"Secara valuasi harga atau yield obligasi tidak mahal, tetapi investor banyak terpengaruh sentimen lain seperti langkah selanjutnya dari The Fed dan perang dagang," kata Farash.

Baca Juga: Reksadana investor tunggal didesain untuk investor dengan kebutuhan khusus

Farash memproyeksikan persoalan perang dagang cenderung melemahkan renminbi atau yuan. Padahal, renminbi cenderung berkorelasi positif pada mata uang negara berkembang. Hal ini memunculkan ekspektasi risiko depresiasi juga terjadi pada rupiah.

Pelemahan rupiah ujungnya bisa menahan laju kinerja obligasi dan reksadana pendapatan tetap.

Meski begitu, Soni memproyeksikan, kinerja reksadana pendapatan tetap akan lumayan bagus dengan proyeksi retun 9%-11% per tahun, net.

Untuk mencapai kinerja yang optimal, Soni menerapkan salah satu strateginya, yaitu secara penuh meracik reksadana pendapatan tetap pada Surat Utang Negara (SUN). "Kami dapat memanfaatkan durasi panjang SUN," kata Soni.

Sedangkan, aset obligasi korporasi akan memberikan imbal hasil yang lebih stabil meski imbal hasil berada di bawah obligasi pemerintah. 

Soni mencontohkan, aset 100% SUN bisa menghasilkan return 10% secara year to date (ytd). Sedangkan aset 100% obligasi korporasi hanya mendapat return 8%.

Sementara, dalam meracik reksadana pendapatan tetap yang memiliki portofolio di obligasi pemerintah, Avrist melakukan manajemen durasi aktif agar capital gain yang didapat optimal.  

Reksadana ini cocok untuk investor yang menginginkan investasi dengan risiko kredit rendah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi