Relaksasi Ekspor Kawasan Berikat Tak Efektif



JAKARTA. Rencana pemerintah melonggarkan (relaksasi) kewajiban ekspor bagi perusahaan yang beroperasi di kawasan berikat bisa berdampak negatif bagi produsen dalam negeri. Pasalnya, relaksasi aturan ini bisa membuat persaingan di pasar domestik semakin ketat.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G Ismy bilang, saat ini, produsen tekstil yang berada di kawasan berikat telah menikmati berbagai fasilitas yang tidak didapat oleh pengusaha di luar kawasan itu. Konsekuensinya, pengusaha tersebut wajib mengekspor produknya dengan porsi tertentu.

Tapi, jika pemerintah memberikan relaksasi kewajiban ekspor bagi perusahaan di kawasan berikat, Ernovian khawatir, akan ada persaingan yang tidak sehat di pasar dalam negeri. Tak hanya itu, "Dikhawatirkan akan ada kecemburuan antara pelaku usaha," ujarnya baru-baru ini.


Catatan saja, pemerintah berencana mengubah ketentuan ekspor perusahaan di kawasan berikat dari 75% menjadi 50% dari total produksinya. Salah satu pertimbangan pemerintah adalah saat ini pasar ekspor sedang lesu karena ekonomi global belum pulih. Imbasnya, banyak produk dari kawasan berikat yang tidak terserap.

Nah, dengan strategi relaksasi ini, pemerintah berharap produk dari kawasan berikat tetap bisa terserap. Sehingga, roda perusahaan tetap berjalan dan perusahaan terhindar dari opsi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan.

Ketua Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Sutrisno juga bilang, rencana relaksasi kewajiban ekspor bagi pengusaha di kawasan berikat ini tak akan berdampak signifikan untuk memperbaiki neraca perdagangan. Alasannya, "Jumlah kawasan berikat tidak banyak," jelasnya.

Ketimbang merelaksasi kewajiban porsi ekspor, Ernovian bilang, pemerintah lebih baik memperbaiki kebijakan perpajakan yang menyulitkan industri tekstil sehingga bisa menggenjot ekspor. Seperti diketahui, selama ini, perusahaan yang ikut dalam program Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) harus membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di awal sehingga mempengaruhi arus kas perusahaan. Nah, "Kami harap waktu pembayaran PPN ini bisa ditangguhkan," kata Ernovian.

Direktur Jenderal Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian Agus Tjahajana bilang, dengan daya saing industri domestik yang rendah, cukup sulit menggenjot kinerja ekspor secara signifikan. Di sisi lain, pasar domestik ikut menjadi pasar yang besar bagi produk impor.

Makanya, ia mengklaim, rencana memperbesar porsi penjualan industri di kawasan berikat ke pasar domestik juga bertujuan untuk melindungi pasar domestik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi