Reli Pasar Aset Negara Berkembang Terancam, Adani Group Salah Satu Penyebabnya



KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Reli pasar aset di negara berkembang tahun ini sudah mulai melambat akibat munculnya resiko baru. Menguapnya kapitalisasi pasar saham Adani Group hingga rencana kenaikan suku bunga The Fed mendorong pendekatan investasi harus mulai selektif. 

Padahal di awal tahun, aset ekonomi berkembang perlahan reli terdorong penangguhan lockdown China dan ekspektasi investor bahwa kondisi pembiayaan global akan lebih longgar.

Namun, kemunculan resiko baru membuat investor kehilangan momentum. Perusahaan investasi seperti Goldman Sachs Asset Management dan JPMorgan Chase & Co mulai sibuk menggemborkan strategi investasi yang lebih selektif. 


"Kami belum berada di lingkungan dimana bisa membeli tanpa pandang bulu," kata Angus Bell, Direktur Pelaksana Goldman Sachs Asset Management London, dikutip Bloomberg, Senin (6/2).

Baca Juga: Pemimpin Oposisi Senior Taiwan akan Kunjungi China di Tengah Meningkatnya Ketegangan

Menurutnya, kondisi makro negara berkembang yang mengalami tekanan akut tahun lalu tak berarti sudah berubah drastis dan semua masalahnya hilang saat ini.

Kondisi ini tentu jadi pengingat bagi investor bahwa lingkungan pasar negara berkembang bisa dengan sangat cepat berubah. 

Indeks MSCI Inc untuk mata uang negara berkembang pada Jumat (3/2) mengalami penurunan satu hari terbesar sejak awal Desember setelah data pasar tenaga kerja Amerika Serikat (AS) yang  mendukung The Fed untuk terus menaikkan bunga acuannya. 

Penurunan itu membuat TD Securities menutup taruhan bullish pada real Brazil karena mata uangnya merosot.

Di Asia, mata uang won Korea Selatan dan peso Filipina mengalami penurunan karena keduanya bereaksi terhadap kenaikan dollar. Won turun 1,5% pada Senin (6/2), terbesar dalam dua bulan.

Pasar saham negara berkembang juga turun secara mingguan untuk pertama tahun ini di tengah aksi jual saham Adani Group dan meningkatnya ketegangan AS-China. 

Pandangan perusahaan investasi saat ini sangat kontras dengan awal tahun 2023 saat semua kelas aset naik. Di awal tahun, Morgan Stanley Investment mengatakan bahwa dekade pasar negara berkembang sudah dimulai.

Beberapa aset mulai terlihat lebih mahal. Menurut Analis JPMorgan, Jonny Goulden, alasan tidak merekomendasikan masuk saat reli kali ini untuk jangka pendek adalah kecepatan dan besarnya.

Berdasarkan analisis JPMorgan tentang selera risiko mata uang berkembang, beberapa kehati-hatian jangka pendek diperlukan.

Guido Chamorro dari Pictet Asset Management di London, juga melihat adanya bahaya teknis pasar untuk obligasi global. Dibandingkan dengan tahun lalu, investor dengan bersemangat mengambil utang baru.

Baca Juga: Asia Power Index: ASEAN Tumbuh Dinamis, Jepang dan China Melemah

"Jika tak ada gundukan di jalan, ini bukan masalah.  Tapi kalau ada maka akan terjadi sedikit goncangan." katanya. 

Aliran investasi ke dana obligasi mata uang keras sudah agak berkurang, sementara dana obligasi mata uang lokal mengalami arus keluar baru-baru ini, menurut data JPMorgan.

Utang dari Angola dan Afrika Selatan menjadi relatif mahal, kata Carlos de Sousa, seorang investor di Vontobel Asset Management di Zurich. Sementara dia melihat keuntungan obligasi yang lebih luas ke depan, ada risiko yang melekat pada prospek politik dan ekonomi Bolivia yang suram jika gelombang global berubah.

Polina Kurdyavko, kepala pasar negara berkembang di Bluebay Asset Management, mengatakan dia lebih suka utang dari perusahaan dengan margin keuntungan yang stabil dan arus kas yang konsisten, seperti utilitas hidro di Amerika Latin dan kredit kuasi-negara tertentu dengan dukungan negara.

Editor: Tendi Mahadi