Renaissance buka pintu damai dengan Merrill Lynch



JAKARTA. Perseteruan antara  Prem Ramchand Hirjani, pemilik Renaissance Capital Management Investment Pte Ltd dengan Merrill Lynch, Pierce, Fenner & Smith (MLPFS) dan Merrill Lynch International Bank Limited (MLIB) sepertinya bakal berakhir. Menyusul langkah Renaissance yang membuka pintu perdamaian. 

"Pihak Merrill Lynch mengajukan permohonan perdamaian terkait sengketa kami," ujar kuasa hukum Renaissance, Hartono Tanuwidjaja saat dihubungi, Selasa (5/2).

Menurutnya, sejauh ini proses perdamaian tengah berlangsung. Hartono menjelaskan pihaknya bersedia berdamai dengan Merrill Lynch asalkan perusahaan keuangan itu bersedia membayarkan ganti rugi. "Sekarang tengah nego pembayaran dalam rentan US$23 juta sampai US$11 juta," katanya. 


Sementara itu, Frans Hendra Winarta kuasa hukum Merrill Lynch mengakui adanya upaya perdamaian. Namun dirinya enggan untuk memberikan komentar lebih lanjut perihal tersebut. "Kami tidak ikut campur karena ini antara prinsipal," jelasnya. 

Lepas dari itu, Frans Hendra menuturkan langkah hukum Merrill Lynch yang menggugat Renaissance di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan No perkara 319 tetap berjalan. "Kasus ini masih berjalan dengan agenda panggilan para pihak," katanya. 

Sebagai informasi, Kasus ini bermula pada Juni 2008, di mana Prem dalam kapasitasnya sebagai pemilik dan direktur tunggal dari Renaissance Capital Management Investment Pte Ltd, meminta Merrill Lynch, Pierce, Fenner & Smith (MLPFS) melalui Merrill Lynch International Bank Ltd (MLIB) di Singapura, untuk membeli 120 juta lembar saham PTTI senilai USD14,3 juta. Karena saham yang dibeli berada di Indonesia, maka eksekutor pembelian tersebut adalah Merrill Lynch Indonesia.

Berkaitan dengan dana tunai yang akan dipakai untuk membayar transaksi tersebut, Prem berjanji kepada MLPFS bahwa dana tunai sebesar USD 14,3 juta akan ditransfer pada tanggal penyelesaian transaksi yaitu 26 Juni 2008. Pada kenyataannya, baik Prem maupun Renaissance tidak pernah mentransfer dana yang disyaratkan pada tanggal penyelesaian transaksi.

Setelah Prem berulang kali berjanji dan kemudian ternyata gagal mengirim dana yang cukup untuk menutup transaksi tersebut, maka MLPFS menggunakan haknya yang tercantum di dalam kontrak untuk melikuidasi rekening Renaissance di MLPFS, termasuk melalui penjualan saham-saham PTTI.

Karena saham-saham PTTI dan aset-aset lain yang ada di rekening Renaissance sulit dijual (illiquid), MLPFS membutuhkan waktu lebih dari satu tahun untuk menjualnya. Pada saat MLPFS berhasil melikuidasi rekening Renaissance, MLPFS hanya mampu memperoleh USD 2,2 juta dari transaksi tersebut. Dengan demikian, Renaissance masih berutang sekitar USD 9,4 juta.

Nah, kasus antara Prem dengan Merrill Lynch ini kembali mengemuka setelah adanya pengumuman somasi dari tim kuasa hukum Prem pada akhir Juli 2012 kemarin yang dipublikasikan di beberapa surat kabar. Dalam somasi itu, Prem melalui kuasa hukumnya menyomasi MLIB dan MLINDO agar membayar ganti rugi senilai total Rp251 miliar yang sudah diputuskan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2008 dalam tujuh hari setelah somasi disampaikan. Putusan PN Jaksel itu juga dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 2010 dan Putusan Mahkamah Agung pada 2011.

Dalam somasi tersebut, juga disebutkan bahwa jika permintaan tersebut tidak dikabulkan, Harjani akan meminta Bapepam-LK sebagai otoritas pasar modal menyuspensi perdagangan yang dilakukan Merrill Lynch Indonesia. Selain itu, Harjani juga berniat mengajukan pemblokiran akun-akun Merrill Lynch Indonesia dan Merrill Lynch International.

Nama Prem Ramchand Harjani di dunia usaha, khususnya yang berkaitan dengan pasar modal bukanlah nama baru. Sebelumnya di 2007, pria keturunan India berkebangsaan Indonesia itu juga memiliki masalah dengan PT Danareksa (Persero). Kasus antara Prem dengan Danareksa pada waktu itu juga hampir serupa dengan yang terjadi pada Merrill Lynch yakni soal transaksi jual beli saham.

Begitu pun di 2003, Prem juga bermasalah dengan salah satu pengelola Dana Pensiun. Di mana perusahaannya yang bernama PT Ryane memiliki utang senilai Rp 3,5 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: