Rencana kebijakan PPN bisa hambat aliran dana investor



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana mengatur ulang kebijakan atas pajak pertambahan nilai (PPN) antara lain tarif dan perluasan objek pajak. Rencana tersebut dikhawatirkan dapat menghambat aliran dana investor.

Dalam draf perubahan kelima Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang dihimpun Kontan.co.id, pemerintah akan meningkatkan tarif PPN menjadi 12% dari besaran tarif yang berlaku sekarang yakni 10%.

Di saat yang bersamaan, pemerintah juga memberlakukan skema PPN multitarif yakni tarif rendah 5% untuk barang/jasa yang dibutuhkan masyarakat. Kemudian tarif tinggi sebesar 25% untuk barang/jasa super mewah.


Tak hanya itu, pemerintah juga berencana akan memperluas objek PPN baik berupa barang maupun jasa. Objek barang yang akan dipungut antara lain barang kebutuhan pokok atau sembako, dan barang pertambangan.

Dari sisi jasa, pemerintah akan menarik pajak atas jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa asuransi, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum darat dan air, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, dan jasa pengiriman uang dengan wesel pos.

Baca Juga: Tidak masalah sembako dikenakan PPN, berikut penjelasan Hipmi

Bila tidak ada aral melintang beleid tersebut akan dibahas oleh pemerintah dan parlemen di tahun ini. Sebab sudah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021.

Melansir data Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) rencana kenaikan tarif PPN tersebut lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya. Misalnya, tarif Value Added Tax (VAT) Vietnam 10%, Thailand dan Singapura 7%, serta Myanmar 5%.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Neilmaldrin Noor mengatakan pemerintah belum menyimpulkan kajian atas dampak rencana kebijakan PPN terhadap investasi. Sambil pemerintah mengunggu jadwal pembahasan perubahan UU KUP tersebut dari DPR RI.

“Untuk hal tersebut masih dalam kajian teman-teman di Kemenkeu dan instansi terkait,” kata Neilmaldrin kepada Kontan.co.id, Jumat (18/6).

Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Herman Juwono mengatakan dalam jangka pendek rencana kebijakan fiskal tersebut akan berdampak terhadap penurunan investasi. Sebagai catatan, bila diimplementasikan pada tahun 2022 atau 2023.

Menurut Herman, jika secara umum tarif PPN naik 2% maka akan menyumbang kenaikan inflasi mencapai 2%. Hal tersebut bisa berkaca dari kondisi yang terjadi di Arab Saudi yang pada tahun lalu meningkatkan tarif VAT dari 10% menjadi 15%. Alhasil, inflasi pada Juli di Arab Saudi mencapai 6,1% year on year (yoy), melonjak dari posisi Juni yang hanya 0,5% yoy.

Masalahnya, Herman menerka apabila inflasi melonjak akibat implementasi kenaikan PPN, lebih disebabkan oleh kenaikan harga barang bukan penguatan daya beli. Sebab, daya beli masyarakat dalam dua tahun ke depan masih riskan untuk melemah.

“Dikhawatirkan pemulihan ekonomi tidak bisa tercapai, kalau digenjot dengan pajak lagi maka makin parah. Bahwa hingga saat ini faktor pemulihan di ekonomi di tahun depan atau setelahnya belum terlihat adanya optimisme bahwa ekonomi akan pulih, seiring kenaikan kasus harian saat ini,” kata Herman kepada Kontan.co.id, Jumat (18/6).

Apabila penangan pandemi berjalan lambat disertai dengan melemahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan PPN, Herman mengatakan tentu investor akan menahan aliran dananya. Dus, kebijakan PPN tersebut bisa jadi buah simalakama bagi perekonomian.

Padahal Herman bilang, sebelumnya langkah pemerintah untuk menarik investasi dengan implementasi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sudah cukup menggiurkan bagi para investor.

Baca Juga: Menggugat Rencana Kebijakan PPN Sembako

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Sapton mengatakan rencana kenaikan PPN akan menjadi beban bagi sektor pertambangan seperti crude oli, nikel, dan logam mineral lainnya. Menurutnya pemerintah kemungkinan akan membanderol tarif PPN sebesar 12% atau tarif normal seperti batubara yang sudah lebih dulu dikenai PPN setelah UU Cipta Kerja diundangkan.

Dalam konteks pertambangan pungutan PPN biasanya berakhir di tingkat pengusaha. Meskipun ada fasilitas restitusi, tetapi wajib pajak akan berpikir ulang mengajukannya. Sebab, konsekuensi dari pengajuan restitusi pajak berujung pada pemeriksaan wajib pajak (WP). 

Belum lagi, restitusi normalnya dikabulkan atau dicairkan bisa mencapai satu tahun alias di laur tahun pajak berjalan. Dus, kemudahan membayar pajak dalam penilaian Ease of Doing Bussines (EoDB) bisa turun.

Di sisi lain Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky berhadap pemerintah bisa memegang komitmen bahwa kebijakan PPN ke depan difokuskan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak bagi orang kaya raya. Sementara, tarif pajak lebih rendah diberikan untuk masyarakat miskin-menengah. Bahkan jika perlu diberikan fasilitas PPN.

Dengan cara itu, Riefky menilai kebijakan PPN yang bertujuan untuk mempersempit defisit justru akan ditanggapi positif oleh investor. Sebab, membuktikan ekonomi Indonesia kuat. 

Riefky optimistis, meski rencana kebijakan PPN diimplementasikan tahun depan target realisasi investasi pemerintah sebesar Rp 1.200 triliun bisa tercapai. Dengan catatan, pajak disektor manufaktur dikenai tarif normal atau lebih rendah.

Selanjutnya: Soal RUU KUP, anggota DPR minta pemerintah optimalkan pajak sektor digital

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi