Rencana Larangan Ekspor Pasir Silika Tidak Serta Merta Bikin Investor Tertarik



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (Apamsi) menilai wacana pelarangan pasir silika tidak serta merta membuat investor tertarik menanamkan uangnya di Indonesia. Sebab pasar di sisi hilir yakni sel surya belum begitu berkembang. Saban tahun proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) masih saja stagnan.

Ketua Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (Apamsi) Linus Andor Maulana mengatakan, saat ini pemerintah seharusnya lebih fokus untuk menumbuhkan pasar di hilir ketimbang mengajukan rencana pelarangan ekspor pasir silika.

“Kalau pasir silikanya dilarang ekspor dalam waktu dekat di saat industri smelter dan hilirnya belum jelas, penambang silika dan eksportir akan kehilangan mata pencahariannya. Jadi sebenarnya bukan masalah melarang ekspor, tetapi bagaimana pemerintah menumbuhkan pasarnya dahulu,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (10/9).


Baca Juga: Geber Industri Panel Surya, Luhut Sebut Hilirisasi Pasir Silika Akan Dilakukan

Menurut Linus, masih banyak ‘pekerjaan rumah’ yang harus dilakukan pemerintah untuk membangun industri hilirisasi silika di Tanah Air. Pasalnya, pengolahan silika hingga menjadi sel surya kudu melewati proses cukup panjang dan investasi besar.

Sebagai gambaran prosesnya, batu kuarsa hasil tambang akan diproses terlebih dahulu untuk menjadi kuarsa murni. Kemudian kuarsa murni diolah lebih lanjut dengan teknologi reduksi dan pemurnian (smelter) menjadi meltallurgical grade Si hingga akhirnya menjadi silikon solar grade (ingot).

Proses selanjutnya, silikon solar grade atau ingot ini akan diproses menjadi wafer silika, selanjutnya menjadi sel surya. Untuk membangun pabrik pengolahan ingot menjadi sel surya dibutuhkan investasi minimal US$ 100 juta atau setara Rp 1,53 triliun (kurs Rp 15.300 per USD)  untuk kapasitas 1 Giga Watt (GW) saja.

“Jadi pengolahan pasir silika hingga menjadi sel surya masih panjang, kalau tiba-tiba ada pelarangan ekspor ya masih jauh rantainya untuk ke sana. Jadi bukan melarang dahulu tetapi menumbuhkan marketnya dahulu,” imbuhnya.

Sejatinya, Apamsi melihat cadangan pasir silika di dalam negeri cukup melimpah. Namun, permasalahannya, pasar hilir domestik belum berkembang. Ambil contoh, target pemerintah untuk mencapai 6,5 GW PLTS di 2025 saat ini masih mandek.

Kemudian pengembangan energi terbarukan (ET) yang tertuang dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN teranyar tahun 2021-2030 juga tidak sejalan dengan mandat di Peraturan Presiden (Perpres) 112 Tahun 2022.  

Menurut Apamsi, jika pemerintah sejak lama konsisten melaksanakan Peraturan Presiden (Perpres) No 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) maka sebenarnya saat ini industri silika menjadi ingot sudah cukup layak untuk dikembangkan.

Namun berkaca dengan kondisi saat ini, investor kerap tidak melirik Indonesia karena belum ada kepastian industri hilir yang bisa menyerapnya.

“Kalau pasarnya belum terjamin, tidak ada investor yang mau. Investasinya saja besar, kalau tidak ada off takernya bagaimana,” kata Linus.

Menurutnya, sebaiknya pemerintah terlebih dahulu ialah memperbaiki pasar dalam negeri dan memastikan penyerapan komponen PLTS dari industri lokal melalui dukungan regulasi.

Jika berkaca pada negara lain, strategi ada satu strategi berhasil dijalankan Turki dalam membangun industri panel surya di negaranya.

Pemerintah Turki mengajak investor luar untuk berinvestasi pabrik sel surya di negaranya dengan janji akan membeli produknya di atas harga pasar selama 3 tahun.

Dengan kepastian seperti ini, dia bilang, tanpa harus mengundang, investor akan otomatis masuk ke Indonesia.

Baca Juga: Nilai Pasir Silika Bisa Naik 80 Kali Jika Diolah Menjadi Sel Surya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat