JAKARTA. Pengamat properti Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda, berharap pemerintah segera membentuk badan pelaksana yang bertugas menyediakan bank tanah. Hal tersebut mendesak dilakukan agar program pembangunan perumahan rakyat bisa lebih masif. Ali mengatakan, hambatan pembangunan selama ini lebih disebabkan keterbatasan pasokan. Sebagian besar keterbatasan itu disebabkan oleh biaya pengadaan tanah yang terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. "Juga biaya-biaya perizinan yang seharusnya tidak disetarakan dengan level rumah komersial. Sementara kenaikan harga tanah itu jauh di atas kenaikan daya beli masyarakat," kata Ali di Jakarta, Selasa (13/5). Menurut Ali, kendala harga tanah sebenarnya dapat diselesaikan melalui kebijakan pemerintah. Pemerintah tidak bisa mengendalikan harga tanah mengingat selama ini pergerakan harga tanah diserahkan kepada mekanisme pasar. Namun demikian, pemerintah dapat membentuk badan pelaksana yang bertugas menyediakan bank tanah, seperti yang sudah diamanatkan dalam UU No 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. "UU tersebut telah mencantumkan pembentukan bank pelaksana guna menyediakan bank tanah, tapi sayangnya belum diatur melalui peraturan pemerintah," ujarnya. Ali menambahkan, permintaan rumah murah setiap tahunnya selalu meningkat, namun tidak diikuti oleh suplai yang cukup. Berdasarkan data BPS, angka backlog perumahan hingga 2013 lalu telah mencapai 15 juta unit. Dengan asumsi kebutuhan rumah mencapai 800 ribu unit per tahun dan yang mampu dibiayai hanya 400 ribu unit, dalam 10 tahun ke depan akan terjadi backlog perumahan sebesar 20 juta rumah. Ali menilai, mustahil seluruh program pembangunan rumah murah dibebankan kepada Perum Perumnas, kecuali pemerintah tidak memberikan target laba kepada BUMN tersebut. Atau, lanjut dia, pemerintah menyediakan tanah dengan harga terjangkau. "Maka, kalau ingin program perumahan rakyat berhasil, harus ada dukungan pemerintah terhadap Perum Perumnas untuk membangun rumah murah yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah," katanya. Sementara itu, menurut Direktur Utama Perum Perumnas, Himawan Arief, strategi Perum Perumnas sebagai pengembang BUMN, adalah membangun rumah dengan pola subsidi 1:2:3 untuk rumah komersial, untuk segmen atas, menengah, dan murah/bawah. Pembangunan rumah murah itu sebagian dibangun di atas lahan Perumnas, sementara sisanya berdasarkan kerja sama dengan Pemda di seluruh Indonesia. "Produksi rumah kami rata-rata 16 ribu, dari jumlah tersebut 80% ditujukan untuk rumah menengah-bawah, sedangkan sisanya rumah segmen atas tersebar di 58 cabang dan 100 lokasi," jelas Himawan. Himawan mengatakan, untuk membangun rumah murah yang saat ini harganya ditetapkan Rp 113 juta untuk model rumah tapak (landed house) dan Rp 315 juta untuk rumah susun (apartemen) sangat bergantung kepada ketersediaan lahan. Permasalahannya, jika dibangun di tengah kota, lahan untuk rumah membangun rumah murah itu sulit didapatkan. "Karena itu saya lebih setuju jika pengadaan rumah murah tidak diserahkan kepada mekanisme pasar sepenuhnya. Seperti di beberapa negara lainnya, harus ada semacam lembaga perumahan untuk menyediakan rumah murah ini, di antaranya memberikan subsidi pada sisi suplai seperti cadangan tanah dan sebagainya," tambahnya. (Latief)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Rencana pemerintah bentuk Bank Tanah masih mentah
JAKARTA. Pengamat properti Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda, berharap pemerintah segera membentuk badan pelaksana yang bertugas menyediakan bank tanah. Hal tersebut mendesak dilakukan agar program pembangunan perumahan rakyat bisa lebih masif. Ali mengatakan, hambatan pembangunan selama ini lebih disebabkan keterbatasan pasokan. Sebagian besar keterbatasan itu disebabkan oleh biaya pengadaan tanah yang terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. "Juga biaya-biaya perizinan yang seharusnya tidak disetarakan dengan level rumah komersial. Sementara kenaikan harga tanah itu jauh di atas kenaikan daya beli masyarakat," kata Ali di Jakarta, Selasa (13/5). Menurut Ali, kendala harga tanah sebenarnya dapat diselesaikan melalui kebijakan pemerintah. Pemerintah tidak bisa mengendalikan harga tanah mengingat selama ini pergerakan harga tanah diserahkan kepada mekanisme pasar. Namun demikian, pemerintah dapat membentuk badan pelaksana yang bertugas menyediakan bank tanah, seperti yang sudah diamanatkan dalam UU No 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. "UU tersebut telah mencantumkan pembentukan bank pelaksana guna menyediakan bank tanah, tapi sayangnya belum diatur melalui peraturan pemerintah," ujarnya. Ali menambahkan, permintaan rumah murah setiap tahunnya selalu meningkat, namun tidak diikuti oleh suplai yang cukup. Berdasarkan data BPS, angka backlog perumahan hingga 2013 lalu telah mencapai 15 juta unit. Dengan asumsi kebutuhan rumah mencapai 800 ribu unit per tahun dan yang mampu dibiayai hanya 400 ribu unit, dalam 10 tahun ke depan akan terjadi backlog perumahan sebesar 20 juta rumah. Ali menilai, mustahil seluruh program pembangunan rumah murah dibebankan kepada Perum Perumnas, kecuali pemerintah tidak memberikan target laba kepada BUMN tersebut. Atau, lanjut dia, pemerintah menyediakan tanah dengan harga terjangkau. "Maka, kalau ingin program perumahan rakyat berhasil, harus ada dukungan pemerintah terhadap Perum Perumnas untuk membangun rumah murah yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah," katanya. Sementara itu, menurut Direktur Utama Perum Perumnas, Himawan Arief, strategi Perum Perumnas sebagai pengembang BUMN, adalah membangun rumah dengan pola subsidi 1:2:3 untuk rumah komersial, untuk segmen atas, menengah, dan murah/bawah. Pembangunan rumah murah itu sebagian dibangun di atas lahan Perumnas, sementara sisanya berdasarkan kerja sama dengan Pemda di seluruh Indonesia. "Produksi rumah kami rata-rata 16 ribu, dari jumlah tersebut 80% ditujukan untuk rumah menengah-bawah, sedangkan sisanya rumah segmen atas tersebar di 58 cabang dan 100 lokasi," jelas Himawan. Himawan mengatakan, untuk membangun rumah murah yang saat ini harganya ditetapkan Rp 113 juta untuk model rumah tapak (landed house) dan Rp 315 juta untuk rumah susun (apartemen) sangat bergantung kepada ketersediaan lahan. Permasalahannya, jika dibangun di tengah kota, lahan untuk rumah membangun rumah murah itu sulit didapatkan. "Karena itu saya lebih setuju jika pengadaan rumah murah tidak diserahkan kepada mekanisme pasar sepenuhnya. Seperti di beberapa negara lainnya, harus ada semacam lembaga perumahan untuk menyediakan rumah murah ini, di antaranya memberikan subsidi pada sisi suplai seperti cadangan tanah dan sebagainya," tambahnya. (Latief)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News