Rencana pemerintah impor gula dipertanyakan DPR



JAKARTA. Anggota Komisi IV DPR RI Abdul Halim mempertanyakan rencana Pemerintah mengimpor gula mentah (raw sugar) menjelang puncak musim giling karena berdampak dapat mematikan petani tebu.

"Pemerintah hendaknya menghitung dulu berapa kebutuhan gula pasir dalam negeri, berapa produksi gula pasir dalam negeri, serta berapa kekuarangannya," kata Abdul Halim, di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Rabu.

Menurut Halim, setelah ada pengkajian dan diketahui berapa kekurangannya, baru Pemerintah mengimpor gula mentah tapi setelah produksi gula dalam negeri terjual ke Badan Urusan Logistik (Bulog).


Jika Pemerintah tidak hati-hati mengimpor gula mentah, kata dia, maka dapat mematikan petani tebu yang menjual produksi tebunya ke pabrik-pabrik pengolahan tebu.

Sementara itu, Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menyatakan menolak rencana Pemerintah mengimpor sebanyak 381.000 ton gula mentah melui BUMN Perkebunan, karena proyeksi kekurangan produksi gula tahun 2016 ini belum jelas.

"Perkiraan produksi gula secara riil baru diketahui pada puncak musim giling atau sekitar Agustus mendatang," kata Ketua Umum APTRI, Soemitro Samadikoen, melalui pernyataan tertulisnya, Senin (23/5).

Apalagi, kata dia, pada awal 2016, telah ada impor sebanyak 200.000 ton gula mentah melalui PT Perusahaan Perdagangan Indonesia "Kami khawatir stok gula tahun 2016 melebihi kebutuhan dan dampaknya harga gula turun," katanya.

Saat ini, harga pokok pembelian (HPP) gula di tingkat petani Rp10.500 per kilogram.

Soemitro menambahkan, kebijakan impor gula mentah dengan alasan kompensasi agar PTPN dan PT RNI bisa menjamin rendemen minimal 8,5 persen merupakan kebijakan instan dan tidak mendidik.

"Apalagi rendemen rendah terjadi karena pabrik gula tidak efisien," katanya.

Dia menjelaskan, keuntungan dari hasil mengolah gula mentah bagi pabrik gula yang tidak efisien, akan habis untuk menjamin rendemen pada petani.

"Tidak mungkin ada keuntungan yang bisa dimanfaatkan untuk revitalisasi. Prinsipnya, kami para petani sangat mendukung jaminan rendemen 8,5 persen, tapi tanpa embel-embel kompensasi impor," ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan