KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah makin serius mewujudkan rencana pemindahan pelabuhan impor beberapa komoditas tertentu ke Indonesia Timur. Hanya saja, kalangan pelaku usaha ragu terhadap efektivitas rencana tersebut bila berkaca pada kondisi terkini. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasmita menyampaikan, pemindahan pelabuhan impor untuk sejumlah komoditas ke Indonesia Timur telah menjadi agenda utama Kemenperin dalam 100 hari pertama Kabinet Merah Putih. Rencana ini sebenarnya juga telah diusulkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag). Beberapa komoditas yang jadi prioritas program pemindahan ini antara lain elektronik, tekstil dan produk tekstil (TPT), pakaian jadi, alas kaki, kosmetik, keramik, katup, dan obat tradisional. Pemilihan komoditas tadi bukan tanpa alasan, mengingat sektor-sektor industri tersebut rawan terhadap serbuan barang impor murah atau ilegal.
“Fokus kebijakan pemerintahan Kabinet Merah Putih yaitu untuk menetapkan pelabuhan impor di Sorong, Bitung, dan Kupang,” ujar Agus, Selasa (22/10). Daftar komoditas yang hendak dipindahkan pelabuhan impornya ke Indonesia Timur belum bersifat final. Kemenperin masih menerima masukan dari para pelaku usaha atau perwakilan asosiasi industri yang butuh perlindungan, sehingga dapat ikut dalam program tersebut.
Baca Juga: Kemenperin Fokus Rencana Pemindahan Pelabuhan Impor Sejumlah Komoditas Tertentu Rencana ini mendapat sorotan dari Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI). Ketua BPP GINSI Subandi menilai, pemindahan pelabuhan impor ke Indonesia Timur akan membuat harga produk yang bersangkutan makin mahal dan sulit dijangkau masyarakat. Jika mengacu pada kondisi infrastruktur pelabuhan terkini, komoditas yang diimpor biasanya dibongkar di Surabaya, Jawa Timur, baru kemudian diangkut kembali menuju pelabuhan-pelabuhan di Indonesia Timur. "Kecil kemungkinan kapal-kapal, termasuk kapal asing, akan langsung ke Pelabuhan Indonesia Timur mengingat infrastruktur di sana juga belum mumpuni," ungkap Subandi, Rabu (23/10). Pemindahan pelabuhan impor ke Indonesia Timur di tengah keterbatasan infrastruktur juga berisiko memicu gangguan pasokan barang untuk kebutuhan masyarakat di Indonesia bagian Barat. Jika suplai tersendat sementara permintaan tinggi, bukan tidak mungkin ada oknum-oknum yang melakukan penyelundupan barang impor. "Kemenperin harusnya mendorong industri-industri lokal untuk tumbuh, bukan dengan mengatur pintu masuk impor," jelas dia. Sementara itu, Ketua Bidang Hukum dan Regulasi Perkumpulan Perusahaan Pendingin Refrigerasi Indonesia (Perprindo) Dewanti mengingatkan agar Kemenperin mempertimbangkan berbagai faktor sebelum mengeksekusi rencana pemindahan pelabuhan impor ke Indonesia Timur. Di antaranya adalah kesiapan infrastruktur yang memadai di pelabuhan Indonesia Timur, ketersediaan feeder untuk pengangkutan barang impor ke Pulau Jawa, biaya logistik yang tinggi untuk barang yang belum bisa diproduksi di dalam negeri, hingga risiko gugatan di
World Trade Organization (WTO) terkait pembatasan pelabuhan impor. "Perprindo harap pemerintah dapat mempertimbangkan pengecualian pemindahan jalur masuk impor untuk beberapa produk pendingin dan refrigerasi," kata Dewanti, Rabu (23/10). Maklum saja, beberapa produk pendingin dan refrigerasi belum bisa diproduksi di dalam negeri. Perprindo juga mengusulkan adanya masa tenggang selama 6 bulan agar para pelaku usaha dapat beradaptasi jika kebijakan pemindahan pelabuhan impor ke Indonesia Timur jadi diberlakukan. Ketua Umum DPP Indonesian Shipowners' Association (INSA) Carmelita Hartoto menyatakan, para pelaku usaha pelayaran siap mengakomodasi kebutuhan angkutan barang impor ke pelabuhan di Indonesia Timur. "Di pelayaran ada prinsip
ship follow the trade yang berarti selama ada muatannya, maka pelayaran akan melakukan pelayanan," jelas dia, Rabu (23/10). Sebenarnya, pemindahan pelabuhan impor ke Indonesia Timur berpotensi meningkatkan angkutan muatan balik dari kawasan tersebut ke Pulau Jawa. Selama ini, kapal yang kembali dari Indonesia Timur ke Jawa hanya mengangkut muatan 50% dari kapasitas yang tersedia. Namun, potensi ini akan memudar jika produk-produk yang diimpor ditujukan sepenuhnya untuk masyarakat di Indonesia Timur. INSA juga menjelaskan, untuk menjadikan pelabuhan sebagai pintu masuk impor, maka dibutuhkan pengembangan
software dan
hardware kepelabuhan yang memadai. Kesiapan sumber daya manusia (SDM) juga sangat penting karena operasional pelabuhan impor berlangsung 24 jam penuh. Tak kalah penting, pemerintah juga harus memastikan optimalisasi komoditas yang hendak diimpor lewat Indonesia Timur. "Sebab, tidak akan efisien bagi kapal-kapal Main Line Operator (MLO) yang mengangkut barang impor kemudian harus membagi muatan dan menghubungi beberapa gate port di Indonesia," tandas Carmelita.
Baca Juga: Cegah Lonjakan Harga, Perlu Strategi Efektif Tetapkan Tarif Angkutan Batubara Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati