Rencana Penerapan B40 Tahun Depan, Ini Beberapa Tantangan yang Dihadapi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Program biodiesel B40 akan resmi diterapkan mulai 1 Januari 2025. Ada beberapa tantangan yang harus dihadapi sebelum program tersebut benar-benar diterapkan.  Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Eddy Martono mengatakan dari sisi produksi minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dalam negeri sebenarnya masih bisa memenuhi mandatori tersebut. “Kebutuhan untuk B35 sekitar 12 juta ton CPO per tahun, kemudian kebutuhan untuk B40 sekitar 14 juta-an ton CPO per tahun dan kebutuhan pangan saat ini sekitar 10,2 juta ton per tahun,” ungkap Eddy kepada Kontan, Selasa (22/10).

Menurut prediksi GAPKI, produksi CPO pada akhir tahun 2024 tak akan jauh berbeda dibandingkan produksi sepanjang tahun 2023, yaitu diangka 50 juta-an ton. "Perhitungan kami, B40 tahun depan masih dapat terpenuhi dengan kebutuhan CPO sekitar 14,3 juta ton. Meskipun harus mengorbankan kuota ekspor sebesar 2 juta ton," tambahnya. Kuota ekspor yang dialihkan untuk program biodiesel ungkap Eddy akan semakin meningkat. Ini akan semakin terasa jika B50 diterapkan. "Yang B50 saja, kalau kondisi (produksi) seperti sekarang atau stagnan maka ekspor akan turun sebesar 6 juta ton CPO. Kalau dipaksa lagi B60 bisa menurun (ekspor) sekitar 10 juta,"  katanya. Senada dengan Eddy, Edi Suhardi Ketua Bidang Kampanye Positif GAPKI mengungkap bahwa pihaknya mendukung program bauran biodiesel yang masuk dalam salah satu Asta Cita presiden dan wakil presiden ke-8, Prabowo-Gibran. Namun untuk meningkatkan komposisi CPO dalam setiap tingkatan bauran, Edi berharap pemerintah dapat lebih bijak melihat dampak jangka panjang kepada industri sawit secara keseluruhan. "Harus dilakukan secara prudent, harus secara hati-hati dengan mempertimbangkan tidak hanya sektor usernya, finansial dari penghematan devisa. Namun, perlu dilihat dari dampak jangka panjang industri sawit," ungkapnya dalam acara diskusi publik bersama Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) yang dilaksanakan Rabu (23/10). Edi mengakui, semenjak adanya kebijakan wajib pemenuhan domestik (domestic market obligation/DMO) atas ekspor CPO untuk mengontrol harga minyak goreng dalam negeri, ditambah lagi kini dengan madatori biodiesel maka beban industri sawit akan semakin besar. "Program untuk B50 ini kita minta untuk kaji kembali terutama terkait kesiapan bahan baku. Karena dengan adanya pembatasan ekspor dari kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan minyak goreng, telah menimbulkan gejolak di Industri. Saya takutkan ada unaudited impact yang belum dihitung," jelasnya.

Peraturan EUDR Bukan sekedar potensi kuota ekspor yang hilang, saat ini industri sawit Tanah Air juga dihadapkan pada Peraturan Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Meski penerapan peraturan ini diundur satu tahun, sawit Indonesia memiliki banyak pekerjaan rumah untuk memenuhi standar.


Muhammad Fauzan Ridha, Ketua Tim Kerja Pemasaran Internasional, Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kementan) mengatakan meskipun ada peluang, mengalihkan kuota ekspor dari Eropa juga butuh beberapa pertimbangan. "Manakala Eropa kita coba tekankan atau beberapa persen gitu ya untuk bisa kita alihkan konsumsikan di dalam negeri gitu ya. Tetapi tidak semudah itu," katanya dalam kesempatan yang sama. Dia bilang produk ekspor sawit ke Eropa kebanyakan ada produk turunan, sedangkan CPO yang digunakan untuk biodiesel hanya 5% yang diekspor. "Dan mereka (perusahaan sawit) sudah ada semacam Pre-Order (PO) ya. PO yang berjenjang dan berlanjutan dengan buyer di sana dan industri di sana," katanya. "Sedangkan CPO aja yang kita ekspor ke Eropa kurang dari 5%. Karena Sebagian besar ekspor sawit kita ke sana itu dikuasai produk-produk hilir," tambahnya. Sebagai tambahan informasi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2023 ekspor sawit Indonesia ke EU adalah sekitar 10% dari total ekspor sawit Indonesia per tahun. Dan jika gagal memenuhi standar EUDR untuk masuk pasar Eropa tahun depan, diperkirakan Indonesia akan kehilangan USD 2,17 Miliar atau senilai Rp 30-50 Triliun per tahun. 

Pembagian lahan sawit Bukan hanya potensi ekspor, Edi mengingatkan seiring bertambahnya kebutuhan Indonesia dengan sawit dan produk-produk turunannya, pemerintah dirasa perlu memperjelas lahan-lahan sawit yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan pangan, biodiesel hingga produk bernilai tambah lainnya. "Dengan banyak tuntutan, jadikanlah sawit komoditas strategis kemudian kita bagi, ada lahan-lahan sawit untuk food estate, kemudian sawit untuk energi dan added value produk," ungkapnya. "Mengalokasikan lahan yang cocok untuk kepentingan biodiesel, seperti biodiesel estate apakah itu di Papua, di Kalimantan maupun di Sumatera," tambahnya. Selain meningkatkan produksi melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), Edi menambahkan, pemerintah dapat memanfaatkan lahan sawit terdegradasi atau yang telah mengalami penurunan, kemunduran, atau kemerosotan. "Karena ada sekitar 8 juta hektar lahan di Indonesia yang terdegradasi sebelum tahun 2020. Ini lahan potensial untuk pengembangan sawit," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Putri Werdiningsih