Rencana penghapusan insentif pajak bagi UKM menuai pro-kontra



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana pemerintah untuk mencabut insentif pajak untuk usaha kecil menengah (UMK) dengan omzet kurang dari Rp 50 miliar per tahun menuai pro-kontra. Pasalnya, bila insentif berupa diskon 50% dari PPh tarif normal tersebut dicabut, maka akan menciptakan fairness, tapi malah menambah beban pajak pelaku usaha terkait. 

“Kita juga mengusulkan penyesuaian insentif untuk wajib pajak usaha kecil menengah (UKM) dengan omzet di bawah Rp 50 miliar,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani saat Rapat Kerja bersama dengan Komisi XI DPR RI, Senin (28/6).

Ketua Badan Pengurus Pusat (BPP) Bidang Keuangan dan Perbankan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani mengatakan setuju apabila insentif PPh UMK dihapus. Ia bilang cara itu akan meningkatkan fairness antar pelaku usaha. “Jadi, konsiderannya dapat diterima, toh sebelum adanya Pasal 31E kita sudah menerapkan tarif yang sama untuk semua badan usaha,” kata Ajib kepada Kontan.co.id, Selasa (29/6).


Baca Juga: Ekonom: Rencana perluasan objek PPN tak beri dampak masif pada inflasi

Hanya, Ajib berharap pemerintah dapat memperjelas lagi waktu ketentuan peralihan kebijakan tersebut. Sebab, wajib pajak terkait butuh adaptasi dan perencanaan.  “Mengingat saat inipandemi belum berlalu. Karena kesan yang tertangkap di publik saat ini adalah pemerintah menggunakan segala daya untuk memperoleh pajak lebih banyak lagi,” ujar dia.

Namun, Ketua Komiter Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Siddhi Widyaprathama mengatakan rencana kebijakan tersebut akan membuat beban pajak pelaku usaha makin berat, terutama bagi UMKM. Menurutnya, saat ini pun tidak semua UMKM yang memiliki omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun dapat membayar PPh Final sebesar 0,5%, karena rumitnya administrasi perpajakan.

Makanya ketentuan Pasal 31E sebetulnya menjadi solusi agar UMKM tetap patuh bayar pajak, meski tidak dapat tarif PPh Final 0,5%, tapi tidak sebesar tarif normal. Kata Siddhi justru para pembayar pajak sesuai ketentuan Pasal 31E adalah wajib pajak tertib administrasi yang telah melakukan pembukuan sesuai dengan ketentuan. Berbeda dengan para penikmat tarif PPh Final 0,5% yang banyak berkedok UMKM, padahal omzetnya di atas Rp 4,8 miliar per tahun.

Setali tiga uang, Siddhi memprediksi makin banyak UMKM yang bayar pajak tinggi sesuai dengan tarif normal yakni 22% dan 20% di tahun depan. Jika diterapkan, maka justru akan menjadi boomerang saat pemerintah menggenjot pemulihan ekonomi.

“Karena penerimaan yang terganggu situasi ekonomi yang tidak bagus, janganlah dulu mengambil keputusan yang sifatnya tergesa-gesa ditinjau dari threshold-nya dulu, jangan langsung dihapus,” kata Siddhi kepada Kontan.co.id, Selasa (29/6). 

Baca Juga: Jika tarif PPN jadi dikerek, begini pengaruhnya terhadap inflasi

Meskipun baru rencana, Siddhi mengatakan dunia usaha butuh waktu untuk bangkit setelah tahun lalu hingga kini masih terpuruk. Siddhi memprediksi dunia usaha baru akan kembali pulih seperti sebelum pandemi pada tahun 2024-2025.

Lantas menurutnya, jika rencana penghapusan ketentuan Pasal 31E dilakukan untuk menekan defisit APBN pada 2022-2023 maka dinilai secara waktu tidak tepat. Padahal menurutnya, saat pemerintah bisa mengendalikan pandemi virus corona dengan cepat, maka demad dunia usaha bakal naik dan pajak yang disetor bakal ikut terangkat.

Siddhi berharap pemerintah dapat melakukan cara lain selain optimalisasi penerimaan pajak untuk menutup defisit 2022-2023. Sebab, pelaku usaha dan masyarakat masih butuh dorongan kebijakan fiskal. Menurutnya, pemerintah bisa memangkas belanja negara yang dianggap bisa diundur pelaksanaannya pasca 2023. 

Selanjutnya: Sri Mulyani bakal cabut insentif PPh final UKM dengan omzet kurang dari Rp 50 miliar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi