Rengkuh Banyu, Ajak Masyarakat Kurangi Kemasan Plastik dengan Pelepah Pinang



KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Produksi sampah dan limbah di era industrialisasi dan digitalisasi seperti makin tidak terbendung. Meski permasalahan ini pelik karena sukar diatasi, masih ada sebagian orang yang tetap gigih berusaha mencari jalan keluar. 

Sebagian orang memilih solusi dengan melibatkan langsung masyarakat akar rumput. Bahkan kontribusi publik juga harus diapresiasi dengan peningkatan kesejahteraan. Lewat cara ini, diharapkan gerakan menjaga lingkungan bisa lebih luas menjangkau komunitas secara berkelanjutan. 

Salah satu orang itu ialah Rengkuh Banyu Mahandaru yang kini fokus menjalankan bisnis berbasis ramah lingkungan dan berkontribusi langsung pada proses transisi energi yang berkeadilan di Indonesia. 


Rengkuh melalui produk kemasan dari limbah pelepah pinang, telah menggandeng 100 kepala keluarga (KK) yang tersebar di beberapa wilayah di Sumatra. Sejauh ini produknya diminati dunia dan telah diekspor ke Australia hingga Jepang. 

Baca Juga: Subsidi Energi Diganti BLT, Celios: Konsumsi Rumah Tangga Terancam Tumbuh di Bawah 4%

Bukan cuma itu, di sektor bisnis lain yakni energi, melalui PT Suar Energi telah melibatkan sejumlah kelompok masyarakat untuk memproses limbah pertanian tebu sebagai bahan baku biomassa. Pelet kayu (wood pellet) dari limbah itu dapat mengganti penggunaan batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). 

Tentu di balik pencapaiannya ini, ada proses panjang yang harus dilewatinya. 

Lima tahun lalu, Rengkuh masih bekerja sebagai karyawan swasta. Pekerjaan sehari-harinya sebagai desainer produk tiga dimensi mebel. Seperti masyarakat usia produktif pada umumnya, dia masuk kantor mulai dari jam 9 pagi pulang 5 sore. 

Sampai suatu hari, Rengkuh merasa begitu nyaman dengan pemakaian platform ojek online untuk memesan makanan dan minuman. Memang di kala itu, aplikasi ‘hijau’ sedang naik daun karena menawarkan berbagai macam promosi sehingga konsumen seolah bisa mendapatkan harga ‘miring’ untuk produk yang biasa dibeli di toko offline. 

Meski ketagihan berbelanja lewat ojek online, Rengkuh merasa ada yang janggal. Dia merasa makin populernya aplikasi ini, penggunaan kemasan plastik di wilayah urban kian berlebihan. Ditambah pula, para penyedia layanan ini tidak memberikan wawasan tentang pengurangan plastik untuk mengurangi pencemaran lingkungan lebih jauh. 

Berdasarkan suatu riset yang Rengkuh temukan, dia cukup terkejut. Aplikasi ojek online ‘hijau’ mendisrupsi masyarakat menggunakan plastik di mana pada 2018 rata-rata konsumsinya mencapai 600 juta styrofoam di wilayah Jabodetabek saja. 

Hal lain yang membuat Rengkuh resah, pendekatan isu lingkungan di Indonesia seolah-olah lebih sering menakut-nakuti tanpa memberikan solusi. Akhirnya muncul perasaan semu bahwa masalah ini seperti tidak lagi tergapai oleh orang biasa. 

Baca Juga: Cuan yang Tampil Bergaya dari Pakaian Daur Ulang

Sekelumit permasalahan ini diakuinya menimbulkan climate anxiety yakni rasa cemas yang terus-menerus dan sulit dikendalikan terhadap perubahan iklim. Climate anxiety dapat menimbulkan stres secara berlebihan dan mengganggu kehidupan sehari-hari. Kondisi ini bisa diperburuk oleh gangguan kecemasan yang sudah ada sebelumnya. 

Keluar dari pekerjaan

Lantaran sudah terlalu jenuh dengan hiruk-pikuk ibu kota dan paparan isu negatif, Rengkuh memilih untuk keluar dari pekerjaannya. Sejenak dia menghindari Jakarta dan memilih pergi ke beberapa daerah di Indonesia. 

Wilayah pertama yang dia datangi ialah Sulawesi Tenggara. Kebetulan saat itu dia sedang  membantu Badan Ekonomi Kreatif untuk mengeksplorasi potensi ekonomi lebih jauh yang ada di Indonesia. 

Destinasi kedua yang membuatnya lebih sadar akan isu lingkungan saat dia bekerja di suatu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang khusus bergerak pada konservasi hewan dan isu lingkungan. Di sini dia banyak belajar soal kondisi petani hingga hutan di Nusantara. 

“Isu yang selalu saya lihat permasalahan lingkungan, indikasi awalnya selalu berurusan dengan masalah ekonomi,” cerita Rengkuh di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) pada Rabu (25/9/2024). 

Di satu titik perjalanannya di Sumatra, Rengkuh sempat menetap di Desa Mendis, Kabupaten Musi Banyuasin di Sumatra Selatan. 

Kebetulan saat dia sampai di sana, Sumatra Selatan sedang kena musibah kebakaran hutan akibat pembalakan liar. Dalam kurun waktu 1 Februari hingga 31 Oktober 2018, api sudah menyambar 37.362 hektare bentang alam. 

Jadi selain merasakan langsung krisis lingkungan di Sumatra, Rengkuh juga menemukan berbagai lapis permasalahan lain di Desa Mendis. Salah satunya soal ekonomi. Di sana dia melihat masyarakat belum dapat memanfaatkan komoditas alam yang melimpah. Minimnya wawasan teknologi jadi sumber kendalanya. 

Padahal Desa Mendis sendiri menyimpan harta berupa pelepah pinang yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga. Namun, lantaran dianggap tidak berharga, petani biasanya membakarnya kalau sudah dianggap merusak pemandangan. 

“Di sinilah saya mau tidak mau harus terlibat langsung dengan berdialog dengan masyarakat soal masalah apa yang sedang dihadapi dan bagaimana solusi yang diharapkan,” ujarnya. 

Baca Juga: California Gugat Exxon Terkait Pencemaran Limbah Plastik Global

Dari dua persoalan yang terjadi di lokasi yang berbeda, desa dan kota, membuat Rengkuh menyadari satu hal dan solusi yang bisa dijajaki perlahan. 

Masalah pertama, masyarakat kota tidak punya alternatif kemasan atau produk sehari-hari yang ramah lingkungan. Lalu masalah kedua, masyarakat Desa Mendis memiliki komoditas pelepah pinang yang bisa diolah lebih lanjut untuk kemasan hijau, tidak menyadari potensi ekonomi yang besar karena minim wawasan teknologi. 

Potensi pelepah pinang

Dari dua persoalan itu, lantas muncul solusi untuk menggantikan kemasan plastik dengan kemasan yang lebih ramah lingkungan dengan memanfaatkan potensi pelepah pinang. 

Rengkuh bersama organisasi Footloose Initiative memulai riset. Pada 2018 mereka  menciptakan produk kemasan dari pelepah dengan jenema Plépah. Kelebihannya, kemasan ini bisa digunakan berkali-kali, dapat menahan panas sampai 200 derajat celcius, dan setelahnya dapat dijadikan pupuk kompos. 

Awal mula, pihaknya melibatkan 12 sampai 15 kelompok keluarga (KK) petani Desa Mendis. Pada saat itu pihaknya merancang ruang-ruang produksi terdesentralisasi berupa manufaktur mikro di lokasi tempat warga berkumpul. 

Untuk menjalankan inisiatif ini pun tidaklah mudah. Pada 2018, mereka banyak melakukan kanvasing ke sejumlah pasar tradisional untuk mencari pembeli. Namun produk inovasi seperti ini diakui Rengkuh belum mampu mencapai skala keekonomian layaknya kemasan plastik yang sudah diproduksi dalam industri. Maka itu, masalah terberat yang dihadapinya ialah harga jual. 

Di saat yang sama, iklim startup juga sedang lesu sehingga Plépah belum bisa mencapai model bisnis yang ideal karena sulit mendapatkan pendanaan. 

Rengkuh tidak patah arang. Dia tetap berjibaku mencari pasar yang cocok untuk inovasi  kemasan ramah lingkungannya. Ternyata sejauh ini, produknya lebih cocok dijual ke pasar mancengara seperti Jepang dan Australia. 

Baca Juga: Peran Penting Investasi Makro dalam Perjalanan Net Zero 2060 di Indonesia

Saat ini Plépah dijual melalui jalur trading ke dua negara itu dengan harga Rp 3.500 hingga Rp 5.500 per-piece. Ke depan tidak menutup kemungkinan harga Plépah bisa lebih ekonomis. Satu-satunya cara dengan memperbesar kapasitas produksi sehingga biaya manufaktur bisa ditekan. 

Kini inisiatif pembuatan kemasan dari pelepah pinang telah menyebar ke dua kabupaten lain tidak hanya di Sumatera Selatan. Ada 100 KK yang memasok limbah pelepah untuk diolah menjadi kemasan. 

“Dari satu batch masing-masing petani dapat menyetor 10 ton sampai 12 ton dalam sebulan. Dengan begitu kami bisa memproduksi 2.000 hingga 5.000 piece kemasan per-minggu,” jelasnya. 

Setiap penjualan pelepah pinang, petani akan mendapatkan Rp 2.000/kilogram. Nilai ini lumayan karena sebelumnya limbah pinang ini tidak bernilai sama sekali. 

Ada rasa puas di dalam diri Rengkuh ketika bisa mengoptimalkan sumber material yang berdekatan dengan masyarakat. Upaya ini juga memicu masyarakat membangun ekosistem pertanian independen dengan teknologi sederhana sehingga meningkatkan produktivitas komoditas setempat. 

“Produk ini sebagai jalan masuk untuk mengoptimalkan limbah pertanian dan mereduksi kadar emisi kemasan pada umumnya yang berbahan baku plastik. Pemenuhan fungsi juga tetap terjaga,” ujarnya. 

Plépah saat ini tersebar di tiga titik, yaitu Cibinong, Bogor, Jambi, dan Sumatra Selatan. Namun, pabriknya sendiri sebenarnya ada di daerah Sumatra Selatan dan Jambi.

Saat ini kapasitas produksi Plépah 120.000 perbulan dan fasilitas manufaktur sudah terutilisasi 80%. 

Potensi bisnis lain

Di tengah isu transisi energi yang semakin santer, Rengkuh melihat potensi bisnis lain yang dapat dimanfaatkan untuk ‘mensubsidi’ silang bisnis Plépah. Melalui Suar Energi dia masuk ke bisnis biomassa. 

Suar Energi secara khusus tidak menggunakan skema penanaman pohon lalu dipotong untuk dijadikan wood pallet. Perusahannya memanfaatkan limbah pertanian dari ampas tebu dan karet untuk dijadikan bahan baku biomassa. 

Pada pertengahan 2023, Suar Energi memulai program percontohan untuk menguji coba pemanfaatan bahan baku limbah agroindustri sebagai bahan bakar alternatif berbasis biomassa. Berawal dari dukungan terhadap program Co-Firing PLN, pihaknya mengumpulkan dan memanfaatkan limbah ampas tebu dari beberapa pabrik di Jawa Tengah, untuk memasok pembangkit listrik di Jawa dan Bali. 

Upaya ini menjadi titik awal bagi Suar Energi untuk memberikan solusi yang dapat memberikan nilai tambah dari limbah pertanian yang belum dimanfaatkan secara optimal, mengurangi penggunaan batu bara, dan pada akhirnya berkontribusi terhadap pengurangan emisi nasional.

Baca Juga: Co-firing PLTU Ombilin Kerek Perekonomian Masyarakat

Nah dari bisnis biomassa ini, Suar Energi dapat menambah pendapatan petani yang menjual limbah pertaniannya senilai Rp 500 hingga Rp 1.500 per-kilogram. Jika dikalkulasikan, pendapatan yang bisa diterima per-kelompok masyarakat (pokmas) mencapai Rp 750.000 hingga Rp 1,5 juta per-ton. 

“Dengan kita bermain di basis komoditas transaksi day to day atau mingguan, kami bisa bertahan dengan kemampuan yang lebih sehat. Percuma bicara bisnis hijau kalau cash flow tidak hijau,” kata Rengkuh. 

Lewat usahanya berjibaku selama lima tahun ini, usaha Rengkuh membuahkan hasil. Dia menjadi pemenang SATU Indonesia Awards 2023, program penghargaan yang diberikan oleh PT Astra International Tbk (ASII) kepada generasi muda Indonesia yang berprestasi dan berkontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan. Produk Plépah yang mengantarkannya mendapat penghargaan bergengsi ini. 

Selanjutnya: Menhub Dorong Masyarakat ke Bandara Soekarno-Hatta Gunakan Kereta Bandara

Menarik Dibaca: 11 Rekomendasi Jus Penurun Kolesterol Paling Cepat dan Ampuh, Mari Coba

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat