Repatriasi diproyeksi mandek hingga akhir periode



JAKARTA. Menurut pantauan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, hingga pertengahan Maret ini, jumlah peserta amnesti pajak akan terus melonjak. Tren peserta amnesti pajak pada pekan lalu, misalnya, sekitar 7.000 hingga 9.000 peserta per harinya.

Namun demikian, untuk repatriasi sendiri jumlahnya masih belum bergerak signifikan dari waktu ke waktu. Komitmen repatriasi tercatat baru Rp 145 triliun.

“Repatriasi belum meningkat signifikan. Masih ada sisa waktu. Kami ingatkan terus,” kata Direktur P2 Humas DJP Hestu Yoga Saksama kepada KONTAN, Selasa (21/3).


Sementara, menurut Direktur Eksekutif lembaga Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, jumlah repatriasi yang terkumpul hingga akhir periode program pengampunan pajak maksimal mencapai Rp 145 triliun. Oleh karena itu, angkanya diprediksi tidak akan bertambah hingga akhir periode.

Hestu menambahkan, DJP sudah mengantongi data-data harta WNI yang ada di luar negeri seperti Panama Papers dan lainnya yang juga dimiliki oleh Presiden Jokowi. Hal lainnya, tahun depan pun AEOI akan diberlakukan sehingga harta-harta di luar negeri pasti akan diketahui.

“Selain itu, kami yakin masih banyak WNI yang simpan harta di luar negeri, yang belum deklarasi atau repatriasi,” tuturnya.

Terlepas dari repatriasi yang mandek, peneliti pajak dari Danny Darussalam Tax Center Bawono Kristiaji mengatakan bahwa adanya jumlah peserta yang meningkat di akhir periode disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, ini menunjukkan strategi pemerintah dalam memberikan pesan dan meningkatkan awareness berhasil.

Kedua, masyarakat juga sudah bisa menilai secara rasional bahwa program amnesti pajak merupakan suatu kesempatan yang perlu untuk dimanfaatkan. Apalagi di tengah gencarnya komitmen pemerintah untuk melakukan reformasi dan juga membuka akses data perbankan.

Ketiga, berakhirnya program amnesti pajak yang bersamaan dengan penyampaian SPT juga membuat perhatian masyarakat semakin besar. “Faktor lainnya ya mungkin psikologis masyarakat Indonesia yang cenderung mau di akhir,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie