JAKARTA. Kencangkan sabuk pengamanan dan waspadalah! Ini bukan menakut-nakuti, lo. Sebab, dua pukulan ganda bakal datang, kenaikan bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) serta ancaman resesi ekonomi global terseret resesi China. Dus gejolak ekonomi dunia masih jauh dari kata berlalu. Benar, kini mata dunia tertuju ke China, episentrum baru resesi ekonomi global. Ancaman resesi China ini tidak bisa dianggap remeh bagi Indonesia. Apalagi hubungan dagang antara Indonesia dengan Tiongkok sangat erat. Selain pasar utama ekspor komoditas Indonesia, kini China digadang menjadi tulang punggung modal proyek infrastruktur Indonesia. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menandaskan bahwa pemerintah memang tengah siaga I dari kemungkinan terjerembabnya ekonomi China. Apalagi, guncangan ekonomi China terasa di pasar saham. Maklum, indeks saham bursa Shanghai jatuh sekitar 30% dalam tiga bulan terakhir.
Kalla menyatakan, pemerintah mewaspadai dampak kejatuhan pasar saham China terhadap industrinya, dan efek lanjutannya bagi Indonesia. "Jika sektor riil China bergejolak, pasar modal dunia akan terpengaruh," ujar Kalla, Rabu (29/7). Meski demikian, Kalla berharap, kejatuhan bursa saham China yang sudah mencapai 30% dalam enam bulan terakhir tidak menggambarkan ekonomi riil negara itu. Toh, sejumlah antisipasi disiapkan pemerintah untuk menghadapi kemungkinan terburuk itu (lihat tabel). Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Suahasil Nazara menyatakan, pemerintah berharap sejumlah poin kebijakan itu bisa mencegah dampak buruk guncangan ekonomi global sekaligus memperbaiki struktur ekonomi. Pembebasan visa bagi 45 negara, misalnya, diharapkan bisa meningkatkan kunjungan turis serta menambah devisa. Devisa bertambah, defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit) bisa ditekan. Resep lain, merevisi insentif tax allowance dan tax holiday. Kebijakan revisi tax allowance yang berlaku Mei 2015 diharapkan bisa mendorong daya saing 17 sektor usaha baru penerima insentif ini, seperti industri pemintalan benang, komputer, kendaraan bermotor, mesin pertanian, industri peralatan, perlengkapan dan galangan kapal. Adapun revisi aturan tax holiday diharapkan menarik banyak investasi baru. Sebab aturan ini menambah empat sektor industri baru yang mendapatkan fasilitas ini, yaitu industri pengolahan berbasis hasil pertanian, transportasi kelautan, industri pengolahan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan infrastruktur ekonomi non-skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Dengan sejumlah kebijakan ini, pemerintah memprediksi ekonomi tetap tumbuh 4,8%-4,9% selama semester I dan 5,2% hingga akhir tahun 2015. Waspadai nilai tukar Boleh jadi, formula anti krisis itu bermanfaat untuk jangka panjang. Persoalan, antisipasi jangka pendek juga perlu disiapkan. Misalnya, mengantisipasi potensi perang mata uang (currency war). Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengingatkan, Indonesia perlu waspada potensi China melemahkan yuan lebih dalam untuk mendongkrak perdagangannya. Kebijakan moneter tersebut, menurut David akan berdampak pada pasar uang dunia termasuk Indonesia.
Dia berharap, Indonesia harus menjaga kebijakan di bidang moneter dan fiskal tetap pruden. Di sisi fiskal misalnya, pemerintah harus realistis dalam menyusun anggaran. Ekonom Samuel Asset Manajeman Lana Soelistyaningsih berpendapat, pemerintah dan Bank Indonesia perlu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. "Penyerapan anggaran juga perlu didorong," katanya. Lana menghitung, jika pertumbuhan ekonomi China turun 1%, ekonomi Indonesia bisa turun 0,4%-0,6%. Yang tak kalah pentingnya adalah menjaga rupiah. Maklum, rupiah makin jatuh dan jauh di atas asumsi anggaran negara. Dampak pelemahan rupiah ini amat panjang, mulai dari anggaran negara hingga ke urusan dapur kita. "Transaksi berjalan membaik tapi rupiah belum menguat," kata Eric Sugandi, Ekonom Standard Chartered. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri