Resesi Ekonomi Mengancam, Cermati Proyeksi Harga Komoditas Tahun 2023



KONTAN.CO.ID -   JAKARTA. Harga komoditas logam industri kemungkinan besar masih lesu pada tahun depan. Hal itu menyusul aksi kerek suku bunga The Fed yang masih berlanjut menimbulkan ancaman resesi.

Analis DCFX Futures Lukman Leong mencermati bahwa terlihat jelas harga logam industri pada umumnya mencapai puncak di Februari 2022 dan mulai turun pada bulan Maret. Kenaikan tersebut disebabkan oleh euforia pembukaan kembali ekonomi pasca dilanda Covid-19.

Namun seiring penguatan dolar Amerika Serikat (AS) ketika dimulainya siklus pengetatan agresif oleh The Fed, harga mulai menurun dengan cepat.


Mengutip Bloomberg per 22 Desember 2022, harga Aluminium LME turun sebesar 14,82% ke level US$ 2,391 per ton, secara year to date (YTD). Harga Tembaga LME melemah 13,65%, menuju level US$ 8,393 per metrik ton.

Baca Juga: Mendag Zulkifli Pantau Pasar Sentral Remu Papua Barat: Harga Bapok Stabil, Stok Cukup

Harga Timah saat ini berada pada harga US$ 24,060, telah anjlok 38,09%. Hanya Nikel yang menguat sebesar 42,56% ke level US$ 29,591 per ton.

Selanjutnya, prospek harga logam industri diperkirakan masih akan suram karena perlambatan ekonomi menuju resesi di tahun 2023. 

"Hal ini sejalan dengan suku bunga bank sentral utama dunia yang nampaknya akan mencapai puncaknya pada tahun 2023," kata Lukman kepada Kontan.co.id, Rabu (21/12).

Lukman menambahkan, kebijakan global sangat berpengaruh tentunya dari kebijakan suku bunga bank sentral global.

Kebijakan Covid-19 China serta komitmen mereka untuk menghidupkan kembali ekonomi juga bakal menggiring harga komoditas, termasuk komoditas logam industri.

Baca Juga: Banyak Tantangan, Ditjen Pajak Harus Kerja Keras Raih Penerimaan Pajak Tahun Depan

Sementara, embargo imbas dari perang antara Rusia dan Ukraina maupun pemangkasan produksi minyak dari OPEC hanya akan berdampak minimal.

Menurut Lukman, harga aluminium, tembaga dan timah masih akan tergantung oleh permintaan dari China dan pertumbuhan ekonomi global secara keseluruhan. Sedangkan, harga nikel kemungkinan bakal lebih baik dengan ekspektasi pertumbuhan permintaan untuk Electric Vehicle (EV).

Kabar baiknya perkembangan belakangan ini mengindikasikan bahwa China berencana melonggarkan pembatasan covid-19. Kondisi ini dimaknai dapat mendorong permintaan dan menaikkan harga logam industri.

Hanya saja, sentimen positif tersebut masih penuh ketidakpastian karena kasus kematian atas Covid-19 berpotensi penerapan kembali lockdown.

Baca Juga: Mengitip Prospek Pasar Modal Tahun Depan, Saham-Saham Ini Layak Dicermati

Adapun mengomentari rencana larangan ekspor bauksit, Lukman berujar bahwa dampaknya tidak begitu besar ke harga logam lain.

Dia bilang Indonesia sebagai produsen terbesar nikel dan terbesar kedua bauksit, tentunya larangan juga bisa mendukung harga dari sisi suplai. Namun imbas ke harga logam lain tentu tidak akan besar karena faktor permintaan terutama dari China yang lebih berperan.

Proyeksi Lukman, harga aluminium bakal berada di posisi US$ 2.350 per ton, tembaga US$ 8.200 per ton, timah US$ 23.000 per ton dan Nikel US$ 28.500 per ton pada akhir tahun 2022.

Asumsinya jika China membuka kembali ekonomi dan berkomitmen meningkatkan perekonomian, maka harga komoditas logam industri bakal naik. Secara rata-rata harga aluminium dipandang bakal berkisar US$ 2.800 per ton, tembaga US$ 9.500, timah US$ 28.000 dan Nikel US$ 32.000.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli