Resesi Mengintip, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tetap Kokoh di Tahun Depan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonomi Indonesia diproyeksi makin membaik di tahun 2023. Hal ini sejalan dengan raihan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2022.

Bahkan, pemerintah pun makin optimistis menyambut tahun 2023. Tak segan-segan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memperkirakan, pertumbuhan ekonomi di tahun 2023 bisa mencapai 5,30%.

Proyeksi tersebut sudah di atas target pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2022 yang hanya 5,20%.  


Asal tahu saja, dalam tiga kuartal terakhir, ekonomi Indonesia selalu tumbuh di atas 5%. Di mana, pada kuartal I-2022, ekonomi Indonesia tumbuh 5,01%.

Disusul, pertumbuhan yang lebih tinggi di periode April-Juni 2022 yang mencapai 5,44%. Lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia pun melesat 5,72% di kuartal III-2022. .

Karena itu, Airlangga pun yakin jika pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berlanjut hingga tahun depan.

“Keseluruhan pertumbuhan ekonomi tetap optimistis. Masih tetap kuat di tengah risiko perekonomian pada tahun 2023. Artinya juga, pada tahun depan Indonesia diharapkan jauh dari resesi,” terang Airlangga dalam konferensi pers hasil pertumbuhan ekonomi kuartal III-2022, Senin (7/11).

Baca Juga: IMF: Prospek Ekonomi Global Semakin Suram

Dia pun menambahkan, optimisme tersebut seiring dengan sejumlah faktor. Pertama, konsumsi rumah tangga yang masih akan relatif stabil. Pemerintah masih akan memberikan bantuan perlindungan sosial yang bisa membeli daya beli masyarakat miskin dan miskin ekstrem.

Kedua, belanja pemerintah yang beralih kepada belanja dengan multiplier effect. Pada tahun 2023, sudah tidak ada lagi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Nah, PEN ini akan beralih ke belanja yang memiliki dampak ganda terhadap pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, investasi akan tetap tumbuh seiring dengan berlanjutnya proyek pembangunan infrastruktur prioritas, proyek strategis nasional, pembangunan ibu kota Nusantara, serta pengembangan industrialisasi. Meski, Airlangga tak menampik ada kemungkinan pertumbuhan investasi yang belum optimal.

Keempat, ekspor yang masih solid, didukung harga komoditas yang masih tinggi serta ditopang oleh industri manufaktur yang masih ekspansif.

Walau memiliki keyakinan tinggi, pemerintah pun sedang menyiapkan sejumlah strategi pendukung guna mencapai target pertumbuhan ekonomi di tahun depan.

Pertama, pelonggaran mobilitas masyarakat sejalan dengan pengendalian Covid-19. Pemerintah juga akan melakukan pengaturan kebijakan persyaratan perjalanan yang selama ini sudah mulai longgar.

Kedua, kebijakan fiskal sebagai pereda ketidakpastian (shock absorber). Ini dilakukan dengan pemberian subsidi dan kompensasi energi serta berbagai anggaran perlindungan sosial.

“Termasuk bantuan terhadap masyarakat rentan berupa bantuan langsung tunai (BLT) bahan bakar minyak (BBM), bantuan subsidi upah, dan subsidi di sektor transportasi dan anggaran pemerintah daerah di tengah kenaikan harga BBM September 2022 lalu,” jelas Airlangga.

Ketiga, stabilisasi harga di tengah ancaman kenaikan inflasi. Pemerintah sudah menerapkan program kebijakan 4K, yaitu keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan komunikasi efektif.

Keempat, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui program kartu pra kerja.

Baca Juga: Realisasi Investasi dari Penikmat Tax Holiday dan Tax Allowance Masih Mini

Kelima, mendorong pengembangan UMKM naik kelas. Ini dilakukan dengan digitalisasi dan penggunaan produk UMKM serta peningkatan target penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) yang dilakukan pada tahun 2022.

Keenam, melanjutkan reformasi struktural. Ini dilakukan dengan percepatan implementasi UU Cipta Kerja, hilirisasi industri batubara, nikel, timah, komitmen penurunan emisi dan ekonomi hijau, serta pembangunan infrastruktur termasuk pembangunan ibu kota Nusantara.

Dengan adanya bantalan yang sudah disiapkan, pemerintah pun yakin Indonesia tak akan terpapar resesi walau sejumlah negara utama masuk ke jurang resesi.

Namun, pemerintah juga mewaspadai sejumlah tekanan dari pasar global. Pertama, permasalahan geopolitik yang masih berlanjut, di antaranya konflik Rusia dan Ukraina.

“Ini menyebabkan gangguan sisi suplai serta harga komoditas yang masih tinggi walaupun mulai normalisasi,” terang Airlangga.

Kedua, lonjakan inflasi global yang belum mereda akibat kenaikan permintaan konsumen dan harga energi yang sangat mahal. Inflasi yang tinggi ini akan menimbulkan luka memar yang berpotensi memicu stagflasi.

Ketiga, perlambatan ekonomi global yang tentu saja memengaruhi laju pertumbuhan ekonomi domestik. Keempat, cuaca ekstrem karena perubahan iklim yang menyebabkan berbagai bencana alam dan bermuara pada kerugian secara ekonomi.

Kelima, ruang fiskal yang yang lebih sempit di tengah konsolidasi fiskal pemerintah, yaitu mengembalikan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk kembali ke bawah 3% produk domestik bruto (PDB) di 2023.

Belum lagi, ada potensi penerimaan dari windfall komoditas bisa lebih kecil dari yang diterima Indonesia pada tahun 2023.

Di sisi lain, Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman yakin Indonesia masih berdaya tahan. Ia menilai, kondisi fundamental ekonomi masih solid dalam menghadapi risiko global.

“Kondisi fundamental Indonesia masih berdaya di tengah risiko resesi global. Meski ada sejumlah tantangan seperti normalisasi kebijakan moneter global untuk menekan inflasi tinggi,” terang Faisal.

Kondisi fundamental Indonesia ini didukung oleh masih adanya rejeki nomplok dari kenaikan harga komoditas. Meski mungkin, kenaikan harga komoditas tak setinggi tahun 2021 maupun tahun 2022.

Selain itu, ia menilai kebijakan pemerintah masih cukup efektif dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan stabilitas, sehingga kuda-kuda Indonesia kokoh dalam menghadapi risiko resesi global.

Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham dan Sektoral yang Menarik Dilirik di Tahun 2023

Kebijakan tersebut adalah pemerintah masih bisa memberikan jaring pengaman sosial dan program bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat miskin, meski ada konsolidasi fiskal pada tahun 2023. Ini pun menjaga daya beli masyarakat di tengah kenaikan inflasi.

Namun, Faisal tak menampik potensi resesi global akan berdampak pada Indonesia. Salah satunya dari jalur perdagangan, yaitu berkurangnya permintaan negara mitra dagang sehingga menurunkan volume ekspor Indonesia.

Selain itu, masih ada juga normalisasi kebijakan moneter bank-bank sentral di dunia untuk menurunkan inflasi tinggi. Ini akan membawa tantangan terhadap pasar keuangan dalam negeri.

Dengan kondisi ini, Faisal yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 bisa mencapai 5,04% yoy. Meski masih di atas 5%, ini lebih rendah dari perkiraan pertumbuhan tahun 2022 yang sebesar 5,17% yoy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari