KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kegiatan ekspor bijih bauksit sudah tidak lagi berjalan seiring dengan dilaksanakannya moratorium pada 10 Juni 2023. “Secara umum kegiatan sudah tidak ada lagi karena tidak mengejar target ekspor. Tadinya berlomba dengan waktu untuk memenuhi kontrak dengan luar negeri, sekarang sudah tidak terlihat aktivitasnya,” kata PLH ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I), Ronald Sulistyanto kepada Kontan.co.id, Minggu (11/6). Dengan adanya pelarangan ekspor bijih bauksit ini, Ronald menyatakan, tentu sudah ada penambang bauksit yang menghentikan aktivitas pertambangan lantaran tidak ada kontrak ke smelter dalam negeri. Tetapi Ronald tidak bisa memerinci berapa banyak perusahaan bauksit yang sudah menghentikan aktivitas tambangnya.
“Ke depan pelan tapi pasti akan semakin banyak yang berhenti karena daya serap bijih bauksit di dalam negeri hanya 12 juta ton hingga 14 juta ton pertahun,” ujar dia.
Baca Juga: Begini Dampak dan Peluang Pelarangan Ekspor Bijih Bauksit Bagi Pengusaha Total produksi bijih bauksit dari perusahaan pemegang IUP yang memiliki RKAB ada sekitar 30 juta ton. Artinya, akan ada 16 juta ton hingga 18 juta ton bijih bauksit yang tidak terserap. Sejatinya hitung-hitungan ini tidak jauh seperti yang disampaikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya. Kementerian ESDM menyebut bahwa hampir 20 juta ton bijih bauksit yang terdampak per tahun. Sebagai gambaran produksi bijih bauksit di 2022 sebesar 27,7 juta ton dan baru terserap 7,8 juta ton, sisanya 19,9 juta ton berorientasi ekspor. Namun, jika menghitung dampak di tahun ini saja, Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan akan terjadi pengurangan ekspor bauksit sampai dengan 8,09 juta ton atau setara US$ 288,52 juta di 2023. Adapun pada 2024, terdapat bauksit yang tidak diserap dalam negeri sebesar 13,86 juta ton atau setara dengan nilai ekspor US$ 494,6 juta. Sedangkan penurunan penerimaan negara dari royalti sebesar US$ 49,6 juta.
Baca Juga: Larangan Ekspor Bauksit Berlaku Mulai 10 Juni 2023 Sedangkan tenaga kerja yang terdampak sebanyak 1.019 orang untuk kegiatan produksi maupun penjualan berpotensi tidak dapat bekerja. “Namun dengan terdapatnya 4 smelter
existing, terdapat peningkatan nilai tambah dari hilirisasi bauksit sebesar US$ 1,9 miliar, sehingga pemerintah masih mendapatkan manfaat bersih sebesar US$ 1,5 miliar dan lapangan pekerjaan untuk 7.627 orang,” kata Arifin dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI, Rabu (24/5). Saat ini sudah ada enoat fasilitas pemurnian yang telah beroperasi di dalam negeri yakni milik PT Indonesia Chemical Alumina memproduksi Chemical Grade Alumina (CGA), PT Bintan Alumina Indonesia produksi Smelter Grade Alumina (SGA), PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (WHW), dan PT WHW Ekspansi juga memproduksi SGA. Adapun dari rencana 12 fasilitas pemurnian yang dibangun, selain ada empat refinery yang sudah beroperasi, delapan refinery bauksit lainnya tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan. Tercatat tujuh dari delapan smelter yang dibangun hanya berupa tanah lapang. Maka dari itu, pemerintah tegas melarang ekspor bijih bauksit di tahun ini.
Baca Juga: Menteri ESDM: Pemerintah Siap Hadapi Gugatan atas Kebijakan Larangan Ekspor Bauksit Pelarangan Ekspor Membuka Peluang Lain
Sekjen Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I), Haykal Hubeis menjelaskan pelarangan ekspor bijih bauksit akan berdampak pada turunnya permintaan terhadap jasa tambang bauksit hingga penurunan pendapatan signifikan bagi pengusaha yang bergantung pada industri ekspor bauksit. “Namun demikian, pelarangan ekspor bauksit ini juga menjadi peluang dalam pengembangan smelter,” ujar dia. Pengusaha jasa pertambangan bauksit yang memiliki kesempatan dan sumber daya untuk berinvestasi dalam pembangunan smelter dapat melihat peluang baru dalam memasok bahan baku kepada industri smelter. Haykal menjelaskan, perusahaan harus memahami dampaknya pada operasi dan menyesuaikan strategi bisnis secara tepat.
Baca Juga: Kementerian ESDM Memastikan Larangan Ekspor Bauksit Berlaku Mulai 10 Juni 2023 Pelaku usaha juga harus mencari peluang diversifikasi usaha. Hal ini dapat meliputi eksplorasi dan mengembangkan usaha dalam sektor lain yang terkait dengan pertambangan, seperti jasa konsultasi, layanan teknis, atau penelitian dan pengembangan. Perusahaan dapat mencari cara untuk meningkatkan nilai tambah produk mereka. Misalnya, mereka dapat menginvestasikan waktu dan sumber daya dalam pengembangan smelter bauksit untuk memproduksi produk olahan seperti alumina atau aluminium, yang dapat diekspor atau digunakan di dalam negeri untuk memenuhi permintaan industri nasional. Perusahaan tentu juga harus menjalin kolaborasi dengan pihak terkait. Haykal menyatakan, kolaborasi ini dapat membantu dalam mencari peluang baru, pemahaman yang lebih baik tentang regulasi, serta pemilihan strategi yang tepat.
Baca Juga: Daftar 5 Perusahaan yang Tak Terdampak Pelarangan Ekspor Minteral Mentah Di sisi lain, pelaku usaha harus mengevaluasi dan meningkatkan efisiensi operasional mereka untuk menghadapi perubahan kondisi pasar. Ini dapat melibatkan pengurangan biaya, peningkatan produktivitas, penggunaan teknologi yang lebih canggih, atau penerapan praktik terbaik dalam operasi pertambangan bauksit. “Perusahaan harus terus memantau perkembangan terkait pelarangan ekspor bauksit dan melakukan penyesuaian sesuai kebijakan dan regulasi yang baru,” kata Haykal. Dia menyatakan, mereka harus siap untuk mengadaptasi strategi bisnis sesuai dengan perubahan kondisi pasar dan kebijakan pemerintah yang berkaitan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati