Respons Putusan MK Terkait UU Cipta Kerja, 5 Juta Buruh Ancam Mogok Nasional



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSPI) mengumumkan rencana mogok nasional yang akan melibatkan sekitar lima juta buruh dari berbagai sektor di seluruh Indonesia. 

Presiden Partai Buruh dan KSPI, Said Iqbal mengatakan, mogok nasional ini direncanakan berlangsung selama dua hari dan akan melibatkan buruh dari sedikitnya 15.000 pabrik dan sektor jasa, termasuk pelabuhan dan transportasi.  

Mogok nasional ini akan dimulai antara tanggal 19 November hingga 24 Desember 2024, dengan waktu pelaksanaan minimal dua hari.  


Baca Juga: Kemnaker dan Dewan Pengupahan Segera Bahas Formulasi Penetapan Upah Minimum

Aksi mogok nasional ini akan berlangsung secara damai dan konstitusional. KSPI telah menyiapkan pemberitahuan resmi kepada Mabes Polri, Polda, dan Polres di seluruh Indonesia sebagai bagian dari prosedur hukum yang sah. 

Di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, serikat buruh juga akan mengirimkan surat pemberitahuan resmi kepada kepolisian.

Aksi ini akan melibatkan penghentian produksi di lebih dari 15.000 pabrik di seluruh Indonesia. Menurutnya, sektor jasa seperti pelabuhan dan transportasi umum juga akan turut berhenti beroperasi selama dua hari sebagai bagian dari unjuk rasa solidaritas untuk menuntut hak-hak buruh yang dijamin konstitusi.

"Langkah ini merupakan respons terhadap dugaan ketidakpatuhan pemerintah dan DPR terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya dalam pengaturan upah minimum dan hak-hak ketenagakerjaan yang dinilai bertentangan dengan konstitusi," ujarnya dalam jumpa pers secara daring, Senin (4/11).

Adapun salah satu alasan utama aksi mogok nasional ini adalah persoalan upah minimum yang diatur dalam putusan MK terkait UU Cipta Kerja. MK memutuskan bahwa terdapat 21 norma hukum dalam UU Cipta Kerja yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, termasuk norma-norma yang mengatur upah minimum. 

Norma-norma tersebut dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum karena dinilai merugikan hak konstitusi pekerja dan bertentangan dengan prinsip kesejahteraan buruh.  Namun, pemerintah, melalui Menko Perekonomian, justru merespons putusan MK dengan menyusun kebijakan baru yang dinilai mengabaikan putusan tersebut, terutama dalam penetapan upah minimum. 

Usulan dari Apindo dan Kadin yang diterima pemerintah mengarah pada pemberlakuan aturan perhitungan upah minimum yang tidak sejalan dengan prinsip keadilan bagi buruh. 

Baca Juga: Soal Putusan MK, Airlangga: Jangka Pendek Kemenaker Segera Bahas Upah Minimum

"Ketidakpatuhan ini terlihat dari rencana pemerintah untuk menetapkan upah minimum tanpa mempertimbangkan keputusan MK, yang menggarisbawahi hak buruh atas upah layak dan stabil," tegas Said.

Menurut dia, norma hukum mengenai upah minimum yang ditetapkan dalam putusan MK adalah soal fundamental bagi buruh. Norma ini mencakup ketentuan bahwa upah minimum harus mengikuti prinsip kelayakan dan mempertimbangkan kebutuhan hidup layak (KHL). 

"Putusan MK, terutama norma hukum nomor 8 hingga nomor 17, menegaskan perlunya upah minimum yang adil dan tidak hanya menguntungkan pihak pengusaha. Tindakan pemerintah yang menyusun peraturan tanpa mengacu pada putusan MK dianggap sebagai upaya yang membahayakan kesejahteraan buruh serta melanggar konstitusi," tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi