KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sampai dengan akhir September 2022, realisasi pengembalian pajak atau restitusi pajak tercatat Rp 166,93 triliun. Restitusi pajak naik 3,84% secara tahunan atau
year on year (YoY) dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan menyebut, realisasi restitusi pada periode laporan didominasi oleh restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri sebesar Rp 124,84 triliun atau meningkat 16,40% secara tahunan. Sementara itu, rincian realisasi restitusi menurut sumbernya didominasi oleh restitusi dipercepat, yaitu sebesar Rp 69,88 triliun atau terpantau tumbuh 50,85% secara tahunan.
Sedangkan restitusi dari upaya hukum tercatat sebesar Rp 23,47 triliun atau menurun 7,87% secara tahunan dari periode yang sama tahun sebelumnya. Restitusi normal tercatat Rp 73,57 triliun atau turun 17,29% secara tahunan dari periode yang sama pada tahun lalu.
Baca Juga: Realisasi Restitusi Pajak Naik 3,84% per September 2022 Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan, ada dua kelompok restitusi yang di buat pemerintah, yaitu pajak pertambahan nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh Badan) atau PPh Pasal 25/29. "Restitusi PPN berasal dari restitusi pendahuluan bulanan atau restitusi dipercepat, restitusi normal yang biasa dilakukan setiap awal tahun pajak, dan restitusi hasil sengketa hukum," ujar Prianto kepada Kontan.co.id, Minggu (9/10). Ia mengatakan, restitusi dipercepat PPN yang sebesar Rp 69,88 triliun atau tumbuh 50,85% yoy biasanya berasal dari Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menjadi rekanan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), eksportir, atau rekanan kontraktor hulu migas. Proses restitusi pendahuluan tersebut dapat berlangsung hanya sebulan. Prianto menilai,kondisi tersebut menandakan bahwa ketiga jenis PKP sudah mulai mengalami pemulihan ekonomi. "Transaksi PKP tersebut dengan pemasok mereka meningkat sehingga restitusi PPN-nya juga meningkat," katanya. Prianto bilang, resitusi PPN secara normal tahunan terjadi setelah ada pemeriksaan pajak terlebih dahulu. Restitusi PPN di Januari hingga September 2022 tersebut berkaitan dengan periode transaksi selama tahun 2020. PKP selanjutnya mengajukan restitusi tahunan di periode 2021 dan hasil pemeriksaan pajaknya terbit di tahun 2022. Untuk itu, Ia menyebut, restitusi PPN yang meningkat tersebut tidak menandakan kondisi perekonomian di periode Januari hingga September 2022. Akan tetapi, restitusi tersebut menggambarkan kondisi perekonomian periode transaksi selama 2020. "Peningkatan restitusi PPN tahunan menggambarkan kondisi perusahaan yang menurun sehingga Pajak Masukan lebih besar dari Pajak Keluaran," tambahnya. Selain itu, Prianto bilang, restitusi PPN yang berasal dari sengketa hukum dapat berasal dari transaksi di tahun-tahun sebelum pandemi karena proses sengketa hukum pajak di Indonesia dapat berlangsung bertahun-tahun. Dengan demikian, restitusi PPN yang berasal dari sengketa hukum tidak menggambarkan kondisi perekonomian pasca pandemi Covid-19.
Baca Juga: E-Commerce Akan Jadi Pemungut Pajak, Begini Kata Pengamat Sementara itu, Prianto mengatakan bahwa restitusi PPh Pasal 25/29 berasal dari dua jenis, yaitu restitusi normal tahunan dan restitusi yang berasal dari sengketa hukum.
Adapun untuk restitusi normal tahunan, restitusi di periode Januari hingga September 2022 tersebut berasal dari transaksi di tahun pajak 2020. Pelaporan pajaknya terjadi di tahun 2021 dengan kondisi lebih bayar pajak dan hasil pemeriksaannya baru terbit di periode Januari hingga September 2022. Kemudian untuk restitusi yang berasal dari sengketa hukum, Prianto menyebut, dapat berasal dari transaksi di tahun-tahun sebelum pandemi. Adapun proses sengketa hukum pajak di Indonesia dapat berlangsung bertahun-tahun sejak hasil pemeriksaan pajak terbit hingga terbit putusan pengadilan pajak. "Dengan demikian, restitusi PPh badan yang berasal dari sengketa hukum tidak menggambarkan kondisi perekonomian pasca pandemi," tutur Prianto. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi