Restrukturisasi KRAS tanpa PHK massal



Ribuan pekerja PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) terancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena perusahaan merugi. Sejumlah pekerja sudah dirumahkan sebagai bagian restrukturisasi organisasi perusahaan dan sumber daya manusia (SDM) demi menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan.

Menurut Manager Security and General Affair PT Krakatau Steel Edji Djauhari, perusahaan mengalami kerugian selama tujuh tahun berturut-turut akibat faktor eksternal dan internal. Dari sisi eksternal, serbuan baja impor asal China menjadi penyebab memburuknya kondisi perusahaan. Banyaknya jumlah baja impor membuat produk PT KS sulit berkompetisi di pasar.

Kini PT KS terlilit utang Rp 40 triliun. Perusahaan mesti membayar cicilan utang bersama dengan bunganya. Di sisi lain, kinerja perusahaan tidak semakin membaik, bahkan salah satu unit produksi yaitu long product telah berhenti beroperasi.


Para pekerja yang tergabung dalam Federasi Serikat Baja Cilegon (FSBC) menolak tindakan merumahkan dan rencana PHK massal dengan dalih restrukturisasi perusahaan. PHK massal merupakan preseden buruk bagi industri strategis yang didirikan oleh Presiden RI pertama Soekarno tersebut.

Menurut pengurus FSBC, sejak 1 Juni 2019 sudah ada sekitar 529 karyawan alih daya yang dirumahkan. Ironis, pabrik baja nasional yang selama ini merupakan BUMN yang tergolong strategis masih memiliki karyawan alih daya atau outsourcing dalam jumlah hingga ribuan orang.

Mestinya sebagai BUMN dan anak usahanya menurut peraturan tidak boleh memperlakukan status outsourcing bagi karyawan yang memiliki kompetensi inti perusahaan. Apalagi, ada karyawan yang sudah bekerja puluhan tahun tetapi masih berstatus alih daya.

Sejarah mencatat Indonesia memiliki industri logam dasar yang dibangun sejak era Presiden Soekarno. Pendirian pabrik baja di Cilegon karena Bung Karno terinspirasi setelah berkunjung ke Uni Soviet tahun 1956 dan mengunjungi pabrik baja Uralmasj Sergo Ordjonikidze.

Saat itu Presiden Soekarno sempat berdiskusi dengan tokoh buruh terkemuka di pabrik itu, bernama Yakov Lipin. Tokoh buruh ini bersedia melatih rakyat Indonesia untuk mendirikan pabrik baja sendiri. Anjuran Lipin disambut baik oleh Bung Karno. Sejak itu Bung Karno termotivasi agar bangsa Indonesia memiliki pabrik baja sendiri dengan volume produksi yang besar sehingga bisa untuk memenuhi kebutuhan pembangunan.

Setelah selesai menyusun studi kelayakan, Cilegon dipilih sebagai tempat pengolahan dan produksi hasil olahan bijih besi karena memiliki kelebihan, seperti lahan luas tanpa alih fungsi lahan pertanian, sumber air melimpah, aksesnya yang terjangkau dari berbagai pulau melalui Pelabuhan Merak.

Akibat dumping

Pemerintah harus menjamin bahwa langkah restrukturisasi usaha PT KS dilakukan tanpa disertai dengan PHK massal. Terlihat kondisi paradoks, pembangunan sederet infrastruktur di Tanah Air akhir-akhir ini ternyata justru membuat industri baja nasional kian terpuruk usahanya.

Akibatnya masih sekitar 2.600 karyawan di bagian produksi baja PT KS yang ketar-ketir karena terancam giliran dirumahkan dan terkena PHK.

Masalah ketenagakerjaan di PT KS terlihat simpang siur dan belum dikoordinasikan antar kementerian secara intens. Direktur Utama PT Krakatau Steel Silmy Karim mestinya berusaha sekuat tenaga agar PHK massal tidak terjadi demi menjaga kompetensi SDM industri baja nasional agar tidak terjadi frustrasi sosial terhadap angkatan kerja. Proses restrukturisasi baik dari sisi organisasi dan juga keuangan karena telah bertahun-tahun merugi dan dilanda utang sedapat mungkin menghindari PHK massal.

Secara teknis sebenarnya mutu logam produksi PT KS beberapa jenis diantaranya lebih bagus dibanding produk China. Ironis, selama lima tahun terakhir kondisi PT KS mengalami kesulitan keuangan dan kalah bersaing dengan baja impor bermutu rendah yang disinyalir masih melakukan dumping. Hasil penyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), masih ditemukan adanya praktik dumping terhadap impor produk H Section dan I Section dari Cina.

Dumping adalah politik dagang yang dilakukan dengan menjual barang di pasar luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari harga di pasar dalam negeri.

Kondisi PT KS yang terpuruk juga akibat produk logam dan perkakas dari China kini merajalela di negeri ini. Apalagi, dengan bea masuk impor hingga 0% dan diberlakukannya ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA), maka industri dalam negeri banyak yang bangkrut.

Keruntuhan industri logam dan perkakas lokal sudah di depan mata. Ironisnya pembangunan infrastruktur yang membutuhkan bahan baku logam yang sangat besar, justru diimpor dari China. Karena skema pembangunan infrastruktur yang dibiayai dari utang ternyata tidak disertai dengan penggunaan bahan baku lokal seluas-luasnya.

Menurut International Standard Industrial Classification (ISIC), industri logam dasar dan permesinan memiliki nilai tambah manufaktur yang tinggi jika diterapkan standardisasi dan peningkatan kapabilitas teknologi. Selain di negeri ini juga belum banyak dilakukan program standardisasi industri, pengembangan jaringan kalibrasi dan sertifikasi mutu produk industri.

PT KS sebagai BUMN yang bergerak di industri baja mengalami penurunan pendapatan sebesar 13,82% pada triwulan pertama 2019. Pada periode itu, KS mencatatkan pendapatan sebesar US$ 419 juta. Padahal, periode yang sama tahun lalu, meraup pendapatan US$ 486,2 juta.

Rencana PHK massal oleh manajemen PT KS merupakan kontradiksi dengan langkah Kementerian Perindustrian (Kemprin) yang tengah memperkokoh kompetensi SDM industri logam di Tanah Air. Apalagi, industri baja merupakan mother of industries, yang produksinya dibutuhkan sebagai bahan baku untuk sektor industri lain.

Kemprin kini terus mengajak pelaku industri di Indonesia terlibat dalam program pendidikan dan pelatihan vokasi. Langkah ini guna menciptakan SDM yang kompeten sekaligus mendongkrak daya saing sektor manufaktur nasional. Untuk mencetak SDM industri logam yang andal dibutuhkan infrastruktur sekolah vokasi industri baja berbasis kompetensi yang link and match dengan industri. Pelatihan industri baja berbasis kompetensi dengan sistem 3 in 1 (pelatihan, sertifikasi kompetensi dan penempatan kerja), serta pembangunan infrastruktur kompetensi di bidang industri baja.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan industri logam nasional pada tahun 2018 tumbuh mencapai 7,6% atau naik dibandingkan dengan 2017 yang mencapai 6,33%, dan lebih baik daripada tahun 2016 yang tumbuh 2,35%. Sehingga, di masa mendatang sektor ini cukup prospektif, terutama jika dilihat dari sisi permintaan pasar.♦

Totok Siswantara Pengkaji Transformasi Teknologi dan Industri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi