KONTAN.CO.ID -JAKARTA. PT Pertamina menegaskan bahwa restrukturisasi yang dilakukan perusahaan untuk kebutuhan bisnis kedepan yang semakin menantang dan juga menjawab kebutuhan energi masa depan. Maka dari itu dibentuklah Subholding yang kini sudah berjalan dengan baik. Yakni, terdapat lima subholding yang telah dibentuk, yakni upstream subholding yang operasionalnya dipegang PT Pertamina Hulu Energi, gas subholding (PT Perusahaan Gas Negara), refinery and petrochemical subholding (PT Kilang Pertamina Internasional).
Baca Juga: Pertamina tengah jajaki akuisisi blok minyak di luar negeri Power and NRE subholding (PT Pertamina Power Indonesia), dan commercial and trading subholding (PT Patra Niaga). Sementara itu, operasional shipping company dipegang PT Pertamina International Shipping. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengungkapkan, bahwa Pertamina saat ini bisnisnya bergerak dari hulu ke hilir, pengembangan petrokimia sampai dengan pengembangan
electric vehicle. Maka dari itu, perusahaan perlu melakukan restrukturiasi aset Pertamina yang ada saat ini. "Bukan karena saat itu RUPS kami melakukan restrukturisasi, ini sudah lama dipikirkan dan untuk menjawab tantangan bisnis ke depan," kata dia, dalam diskusi virtual, hari ini. Tentu saja dalam membuat organisasi baru, Pertamina melakukan
banchmark terhadap perusahaan global yang saat ini sedang menghadapi megatren global di bidang energi, yakni juga dialami oleh Chevron, ExxonMobil, dan ConocoPhilips. Ketiga perusahaan global itu membagi tiga fokus yang kemudian juga menjadi dasar Pertamina menetapkan
strategic planning.
Pertama, strategi bagaimana mengelola
cureent revenue generator, kedua bagaimana mengelola
new revenue generator, dan ketiga adalah
future revenue generator. "Kalau kita lihat ketiga perusahaan itu, mereka fokus di realokasi
capital expenditure itu ke program-program atau proyek yang menghasilkan
return di jangka pendek, dan juga tetap di konvensional proyek jangka panjang dengan
return yang masih baik," ujar Nicke. Dia mengatakan bahwa Chevron saat ini masih memandang bahwa minyak adalah masa depan apalagi shale gas yang mereka miliki masih melimpah. Sementara untuk perusahaan migas di Eropa misalnya Eni Spa, perusahaan itu fokus ke Green Energy, untuk bisnis New adalah Deep Water yakni lebih ke LNG. Selain itu juga mereka mulai melakukan pengembangan dan akuisisi. Lalu, untuk Shell, BP, dan Total juga mengarah ke Green Energy tetapi perusahaan ini memang kuat di teknologi, sehingga seluruh asetnya menggunakan teknologi dalam operasional, lalu untuk bisnis di hulu ketiganya masih mengandalkan gas. "Dari semua ini kemudian bagiamana dengan Pertamina?" kata Nicke. Dia mengatakan, dengan
resources yang dimiliki Indonesia maka secara strategi jangka panjang akan mengoptimalkan potensi sumber daya yang dimiliki Indonesia, sedangkan market sebagai
backbone pertumbuhan kedepan. Dengan mengadopsi startegi dari tiga perusahaan global Amerika Serikat itu, ada tiga agenda besar yang tengah dilakukan Pertamina, yakni pertama, meningkatkan kapasitas di hulu, refanery, gas, dan lainnya Kedua untuk new revenue, Pertamina akan meningkatkan kapasitas kilang petrokimia yang
high return, contoh dua hari yang lalu Pertamina bekerjasama dengan Kimia Farma untuk masuk mengembangkan industri farmasi khususnya untuk obat-obatan. "Jadi katalis dan inovasi pengembangan portofolio baru akan dilakukan di Kilang Cilacap untuk bahan baku obat-obatan," kata dia. Ketiga, Indonesiua memiliki sumber daya yang besar dan sawit bisa dijakan bahan bakar, apalagi Bahan Bakar Nabati (BBN) sebagai new energy bisa menjadi subtitusi impor. "Kami akan menjalankan roadmap bio energy, produk D100, B30, B40, dan B50 sudah sejak 2014 ujicoba, setelah menjadikan sawit bahan bakar, Pertamina juga akan mengembangkan Green Avtur kemudian baru masuk produksi gasoline," terangnya.
Tak berhenti di sana, Nicke mengatakan bahwa Indonesia memiliki cadangan berlimpah mengembangkan coal gasifikasi menjadi Dimethyl Ether (DME). "DME akan jadi subtituasi impor, Pertamina akan berusaha membantu mengurangi defisit neraca perdaganagn," ujar dia. Dengan tuntutan bisnis saat ini, Nicke mengatakan bahwa Pertamina juga memiliki peran sebagai BUMN yang mesti mengacu pada UU BUMN dan UU Energi, maka Pertamina menerjemahkan bisnis Pertamina itu bukan hanya mengejar keuntungan semata. Tugas Pertamina selain berbisnis adalah menjadi motor bagi pertumbuhan ekonomi nasional, melayani kebutuhan publik, masuk ke bisnis baru yang tidak fisibel atau tidak ekonomis jika digarap oleh swasta, contohnya pengembangan bio energy yang keekonomiannya masih dipertanyakan. Maka, Pertamina mesti menjadi pelopor dari pengembangan energi berbasis kelapa sawit, lalu juga Pertamina mesti mengembangkan atau membina UMKM. "Jadi melihat global megatren yang ada, lalu kami melakukan banchmark, maka kita melakukan startegic plan dengan ketat," ujar dia. Maka, kata Nicke ketika global mega trend melakukan restrukturisasi bisnis tentu Pertamina perlu melakukan reorganisasi yang sejalan yang sejalan. "Inilah dasar yang kemudian menjadikan sebagai patokan pada saat mendesain organisasi sekarang. Selain itu pemegang saham (pemerintah) mealakukan aspirasi nilai pertamina kedepan untuk menjadi rangking 100 dari 175 saat ini secara valuasi aset," ungkap dia. Nicke menjabarkan, dari itu semua Pertamina melakukan secara detail restrukturisasi portofolio dengan dibentuk masing-masing Subholding. "Restrukturisasi, ini cara Pertamina menjalankan restruktur bisnisnya untuk jangka panjang. Tentu organisasi ini juga dengan membandingkan dengan NOC lain," urai dia. "Ini adalah sebuah best practice yang juga dilakukan Petronas, BP juga melakukan perubahan, PTT Thai juga melakukan, ExxonMobil juga. Ini mereka lakukan untuk beradaptasi untuk menghadapi perubahan yang sangat dinamis di dunia," ungkap Nicke. Nicke juga menilai restrukturiasi bisnis itu yang diwujudkan dengan pembentukan Subholding juga untuk menjalankan mandat ketahanan energi dan untuk mendapatkan investasi yang besar. "Transformasi bisnis ini juga diperlukan restrukturisasi dari revisi capex, dari tahun 2020-2026-2030. Kami menetapkan organsiasi yang sesuai dengan tuntutan tadi," kata dia. Nicke menjelaskan bahwa tren produksi di hulu trennya menurun sehingga Pertamina fokus untuk bagaimana meningkatkan produksi dan candangan migas, saat ini produksi minyak Pertamina baru mencapai 420.000 barel per hari sedangkan pada tahun 2026 harus menjadi 1 juta barel. "Bagaimana caranya, tentu melakukan akuisisi jika ingin cepat untuk produksi. Kalau kita hitung jika kita tak melakukan penambahan cadangan makan 7 tahun lagi maka cadangan migas Pertamina akan habis. Lalu, tuntutan soal Petrokimia, bahwa saat ini Pertamina dituntut menyediakan produk kelas dunia, dengan EURO 4 dan EURO 5, sedangkan kita baru EURO 2," ujar dia. Maka dari itu, Nicke mengatakan pihaknya membangun atau memperbaharui kilang dengan program RDMP agar kualitas produk bisa ditingkatkan dari EURO 2 menjadi EURO 4 dan EURO 5. "Lalu ada yang bilang kan minyak akan habis, kenapa bangun kilang? Jangan lupa bangun kilang atau program RDMP itu di empat kilang eksisting akan meningkatkan kualitas produk selain menambah kapasitas produksi," terangnya. Kemudian, kata Nicke, dari sisi logistic dan suplai chain, bahwa saat itu pengadaan logistik dan suplai digarap sendiri sendiri semisal yang dilakukan pengembangan infrastruktur oleh PGN dan Pertagas, kemudian refenary juga, pemasaran juga sendiri. "Sekarang sudah terintegrasi dan sudah kelihatan efisiensi dan optimasi aset yang luar bisa," ungkap Nicke. Dia mengatakan saat ini aset aset yang ada saat ini bisa disinergikan termasuk dengan pemasaran, Pertamina membuat platform digital untuk semua produk yang akan dipasarkan. Peran Holding Sementara itu, Nicke mengatakan peran Holding Pertamina lebih kepada
startegic planning, menetapkan kebijakan strategis, mengelola dari pelaksanaan seluruh bisnis. Sedangkan Subholding ke operasional. "Dulu kalau anak usaha ingin melakukan investasi harus ke anak, lalu direktorat. Sekarang kami berikan otoritasnya ke bawah startegi operasi semua ke bawah dan Subholding yang menangani," ujar dia. Contoh lain, dulu unit kilang jika ingin menggunakan crude harus yang sudah dibeli ISC. Namun, sekarang unit kilang yang berhak menetapkan jenis crude apa yang dibutuhkan agar menghasilkan gross margin yang tinggi dan bisa efisiens. "Fleksibility itu yang kami berikan," terangnya.
Demikian pula dengan hulu dalam mengelola aset-asetnya, dengan dibawah Subholding maka nanti akan dibuat standarisasi, sinergi, share aset, dan share resources. Nicke mengatakan dengan adanya direktorat di holding tugasnya untuk pengembangan produk atau bisnis baru yang kemudian nanti bisa diserahkan ke anak perusahaan melalui Subholding masing-masing. Demikian pula Direktorat Keuangan karena kedepan Pertamina memerlukan investasi besar maka perlu ada rancangan besar mengelola keuangan, lalu ada juga Direktorat Human Capital yang tugasnya pengembangan karir dan terbuka. Lalu, untuk integrasi logistik juga akan dilakukan dari hulu ke hilir, misalnya pelabuhan yang kita miliki akan dioptimalkan. "Ada juga soal TKDN. Indonesia perlu keberpihakan projek owner kalau pemerintah yang menetapkan dan pemilik proyek tidak punya kebijakan tentu jalannya lambat. Kami ada divisi khusus soal TKDN, divisi ini masuk sampai tahap perencanaan dan desain dari semua pengadaan yang ada di Pertaminba, mereka tugasnya melakukan koordinasi dengan asosiasi dan Kemperin, BKPM dan perbankan," imbuh dia. Selain itu juga, Pertamina akan konsen dengan pengembangan digital agar proses administrasi tidak panjang, lalu ada juga aset manajemen semua itu akan dikembangkan oleh Corporate Service, ini bisa meningkatkan efisiensi pertamina. "Nanti pengadaan akan tersentralisasi," terangnya. Sekarang, kata Nicke, semua menjadi prioritas dan semua harus sprint atau cepat sehingga jika ada keputusan bisnis untuk bekerjasama dengan investor tentu akan diambil, kemitraan jangka panjang, dan goalnya adalah untuk ketahanan energi. "Dengan restrukturisasi bisnis ini pekerja kita tidak ada perubahan termasuk hak pekerja, pengembangan karir terbuka. Nanti akan launching pembukaan karir baru dan semua pekerja Pertamina bisa ikut," terangnya. Bukan hanya untuk internal, bagi regulaor tentu saja perubahan organisasi Pertamina akan memudahkan karena bisa dengan mudah berkoordinasi dengan masing-masing Subholding sehingga fokus dan jelas arah yang ingin dicapai. "Ini kita sedang membongkar batasan-batasan," tuturnya. Nicke juga mengatakan bahwa pihaknya sebelum melakukan restrukturisasi bisnis dengan membuat Subholding sudah mengkaji dari sisi hukum kaitannya dengan penguasaan negara. "Kebijakan pengaturan pengelolaan itu dipegang pertamina, sementara aset migas masih dikuasai negara. ini operasionalnya saja," ujar Nicke.
Sementara soal UU Migas, Pertamina tidak melanggar UU Migas. Sebab, kata Nicke pihaknya di hulu hanya menguasai 30% produksi dan sisanya dikelola kontraktor migas baik swasta nasional dan asing. "Jadi itu tidak ada masalah dari UU. Sementara untuk di hilir juga Pertamina menjalankan penugasan, jadi hari ini BBM subsidi bukan hanya pertamina, ada juga perusahaan lain yang mendapat subsidi. Subsidi bukan cuma ke Pertamina. Apalagi memang ada tender terbuka. Perusahaan manapun yang sanggup dan punya infrastruktur bisa diberikan alokasi," jelas dia. Lalu, soal privatisasi, Nicke menekankan bahwa Pertamina tidak melakukan pelepasan aset. Terkait dengan rencana penerbitan saham perdana atau IPO adalah sebuah cara yang dilakukan untuk mencari pendanaan. Sebab Pertamina memerlukan US$ 133 miliar untuk investasi dari 2020-2026. Pilihannya ada beberapa, yakni meminjam perbankan, menerbitkan surat utang, dan terakhir IPO. "Jadi saya tekankan bahwa perusahaan BUMN asing, dan global juga melakukan IPO," kata dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Azis Husaini