KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perdana Menteri Malaysia Najib Razak mengabaikan peringatan mengenai adanya potensi risiko dalam pembelian saham perusahaan perkebunan sawit di Indonesia milik Rajawali Group. Mengutip sarawakreport.org, Sabtu (28/4), perusahaan akuntansi global, KPMG telah memperingatkan Felda Global Ventures (FGV) terkait berbagai risiko jika terlibat dalam pembelian 37% saham PT Eagle High Plantations Tbk (BWPT) milik Rajawali Group. Seperti diketahui, pada April 2017, FELDA (The Federal Land Development Authority) melalui anak usahanya, FIC Properties Sdn Bhd (FICP) akhirnya mengakuisisi 37% saham BWPT. Asal tahu saja, BWPT merupakan perusahaan yang dikendalikan oleh Peter Sondakh, kolega bisnis Perdana Menteri Najib Razak.
Akuisisi saham BWPT oleh perusahaan milik Malaysia itu tercatat sebagai investasi langsung terbesar ketiga di Indonesia pada tahun lalu. Nilai akuisisi itu mencapai US$ 505,4 juta atau setara Rp 6,7 triliun. Seperti dilansir sarawakreport.org, dalam dokumen rahasia dan laporan uji tuntas setebal 209 halaman bertajuk "Project Sunshine" yang disiapkan oleh KPMG tertanggal 31 Juli 2015, diungkapkan beberapa kekhawatiran terkait usulan investasi FGV yang sebesar US$ 680 juta. KPMG memperingatkan bahwa tidak hanya kesepakatan harga yang terlalu tinggi (70% lebih tinggi dari nilai saham BWPT) dengan mengorbankan pemegang saham FELDA, tetapi ada kewajiban besar yang pada akhirnya dapat merugikan para pemegang saham jika mereka mengambil tanggung jawab kepemilikan. Tiga halaman dalam dokumen itu merangkum mengenai kekhawatiran utama para analis terkait transaksi tersebut, yang kemudian dilaporkan kepada Najib sebagai Menteri Keuangan pada November 2015. Namun, FGV berusaha untuk menjawab setiap masalah seolah-olah itu dapat diatasi. Poin-poin risiko FELDA Dokumen tersebut merinci poin-poin yang berbahaya, termasuk pajak yang belum dibayar dan potensi kewajiban besar atas penghindaran pajak lebih lanjut oleh Eagle High. Selain itu, adanya penilaian yang berlebihan terhadap kesepakatan (dibandingkan dengan harga saham sektor perkebunan) dan bukti bahwa perusahaan terlalu melebih-lebihkan data luas lahan tersisa yang boleh ditanami. Menurut analis KGMG, Eagle High kemungkinan besar tidak akan menyelesaikan proses untuk mendapatkan izin penanaman seluas 260.000 hektare, setara 60% dari total
landbank. Lahan tersebut hanya memiliki lisensi sementara untuk digunakan sebagai pabrik. Hal itu terutama terjadi, karena bisnis kelapa sawit mengalami peningkatan tekanan internasional dan konsumen yang menginginkan penghentian pembukaan hutan lebih lanjut. Persoalan dalam pengambilalihan sebagian besar bisnis perkebunan Eagle High berpotensi menyebabkan FELDA kehilangan sebagian besar pelanggan internasional, mengingat Eagle High tidak bersertifikasi RSPO (
round table on sustainable palm oil) dan diketahui melanggar berbagai aturan. Singkatnya, KPMG memperingkatkan bahwa pembelian saham di atas harga wajar dapat mencemari bisnis pertanian Malaysia secara lebih luas. KPMG juga mencantumkan cakupan risiko lainnya. Berikut faktor risiko yang diidentifikasi oleh pengamat pasar: - Risiko keberlanjutan usaha - Deforestasi, hutan hujan primer dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit, penebangan hutan sekunder - Perambahan pada habitat orang utan - Pengembangan lahan gambut, drainase lahan gambut adalah penggerak besar polusi iklim, yang menyebabkan emisi CO2 - Konflik sosial, laporan tentang perusakan tanah adat dan laporan tentang kondisi kerja yang buruk di perkebunan Papua yang dioperasikan oleh GEH - Ketiadaan kebijakan keberlanjutan yang jelas dapat menghalangi pembiayaan dari bank internasional Namun demikian, ketika FGV kemudian menarik diri dari kesepakatan pada 23 Desember 2016, FELDA justru mengambil alih penawaran itu keesokan harinya, berkat jaminan pinjaman Pemerintah Malaysia, yang disediakan oleh Najib dalam kapasitasnya sebagai Menteri Keuangan.
Padahal, faktanya entitas FELDA yang digunakan untuk berinvestasi di perkebunan tidak lain adalah Felda Investment Corporation (FIC), yang secara khusus dibentuk untuk berinvestasi pada bisnis di luar kelapa sawit. "Alasan (beralih) adalah bahwa FGV berada di bawah pengawasan bursa efek, sedangkan FELDA tidak di bawah pengawasan MOF,” kata sumber yang ikut dalam kesepakatan itu, seperti dilansir Sarawak.org. Harga akhir kesepakatan pembelian saham Eagle High berkurang sebesar US$ 505,4 juta. Meski demikian, nilai akhir kesepakatan masih mewakili harga premium yang sangat besar, yaitu di atas 50% dari harga pasar 37% saham BWPT. Itu merupakan nilai pembelian yang besar bagi mitra bisnis Najib, Peter Sondakh (yang saat itu diyakini berada di ambang keruntuhan finansial), dengan mengorbankan petani kecil Malaysia di bawah FELDA. Mengutip Bloomberg, Kamis (3/5), harga saham BWPT di Bursa Efek Indonesia ditutup di level Rp 248 per saham. Harganya sudah turun sekitar 30% dibandingkan awal April 2017 yang mencapai Rp 354 per saham.
Editor: Dupla Kartini