KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dana kelolaan alias Asset Under Management Reksadana Terproteksi (RDT) terus turun. Salah satu penyebabnya ialah investor mengalihkan ke instrumen dengan
return yang lebih optimal. Mengutip Otoritas Jasa Keuangan (OJK), AUM reksadana terproteksi turun Rp 3,64 triliun pada November 2022 menjadi Rp 98,02 triliun. Pada Oktober 2022, dana kelolaan mencapai di Rp 101,66 triliun. Penurunan AUM ini juga sudah terjadi selama 5 bulan berturut-turut. Pada Juni 2022, dana kelolaan reksadana terproteksi sebesar Rp 109,70 triliun.
Senior Vice President Head of Retail Product Research & Distribution Division Henan Putihrai Asset Management (HPAM) Reza Fahmi mencermati bahwa turunnya AUM RDT pada umumnya disebabkan oleh dua hal.
Baca Juga: Intip Peluang Reksadana di Tahun 2023 Pertama, nilai pasar obligasi yang menjadi
underlying mengalami penurunan. Kedua, obligasi yang menjadi
underlying telah jatuh tempo dan tidak dilanjutkan dengan produk RDT yang baru. Menambahkan hal tersebut, penurunan AUM disinyalir juga imbas dari ekspektasi tingkat imbal hasil (
yield) yang semakin tinggi. Kondisi imbal hasil tinggi membuat investor cenderung menunggu sampai mendapatkan imbal hasil yang optimal. "Kenaikan tingkat imbal hasil ini cenderung membuat investor
risk averse atau mengurangi risiko," jelas Reza kepada Kontan.co.id, Selasa (20/12). Dengan demikian, terjadi pengalihan dana ke aset yang berisiko lebih kecil dan berjangka waktu pendek seperti deposito dan Reksadana Pasar Uang (RDPU). Menurut Reza, kondisi seperti ini merupakan hal yang sering terjadi pada saat kenaikan tingkat imbal hasil dimana investor mulai mencari
return yang optimal. Setidaknya dana bakal masuk lagi sampai dengan siklus ekonomi berubah sehingga terjadi penurunan tingkat imbal hasil. Imbal hasil reksadana terproteksi sebenarnya dipandang masih menarik sesuai dengan
risk appetite investor. Sebab, manfaat dari RDT adalah investor dapat mengunci imbal hasil yang sama selama umur RDT tersebut. Reza memproyeksikan return RDT tahun depan akan berkisar antara 6.50 % – 8.25%, bergantung pada rating obligasi yang menjadi
underlying. Hanya saja, risiko gagal bayar dikhawatirkan semakin tinggi karena ketidakpastian ekonomi. Meskipun risiko tersebut selalu melekat pada obligasi korporasi.
Baca Juga: Prospek Reksadana di Tahun 2023 Diprediksi Cerah Meski AUM Terus Turun Adapun untuk mengurangi risiko ini, investor diharapkan mengerti dan bijaksana dalam memilih obligasi yang menjadi
underlying dari RDT. Pada umumnya, tingkat imbal hasil akan mencerminkan tingkat risiko dari investasi nasabah.
Reza menyarankan investor memilih produk RDT tidak hanya melihat tingginya tingkat imbal hasil. Namun, investor juga wajib mengetahui perusahaan yang menjadi emiten penerbit dari obligasi. Pemilihan obligasi baik obligasi negara atau korporasi tentunya akan bergantung dari profil risiko dan jangka waktu (horizon) investasi nasabah. Bagi investor yang ingin keamanan yang tinggi dan memiliki horizon yang panjang obligasi negara merupakan pilihan yang baik. Investasi pada reksadana obligasi pemerintah dapat dilakukan secara berkala, atau menyisihkan sebagian dana setiap bulan untuk 5-10 tahun layaknya nasabah yang melakukan investasi seperti iuran BPJS ataupun dana pensiun. Sementara bagi investor yang memiliki horizon lebih pendek dapat melakukan investasi pada reksadana berbasis obligasi korporasi dengan rating yang cukup baik. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .