JAKARTA. Para manajer investasi memprediksi, kinerja reksadana pendapatan tetap akan tetap redup tahun ini.
Head of Operation and Business Development PT Panin Asset Management, Rudiyanto memperkirakan, reksadana pendapatan tetap hanya bisa memberikan
return 8% - 10%. Rudiyanto menyebut, rencana redenominasi menjadi salah satu faktor penyebab tipisnya
return reksadana pendapatan tetap tahun ini. Ia menilai, ide penyederhanaan mata uang tanpa memotong nilai rupiah akan membawa sentimen negatif bagi pasar obligasi, aset dasar reksadana pendapatan tetap. Menurut dia, redenominasi bisa mengancam tekanan inflasi sehingga investor menganggap berinvestasi di obligasi semakin tidak menarik. "Misalnya saat ini nilai Rp 12.500. Setelah redenominasi ada kekhawatiran akan terjadi pembulatan nilai dari Rp 12,5 menjadi Rp 13. Hal ini akan memicu inflasi," tutur Rudiyanto, akhir pekan lalu.
Kenaikan harga tarif dasar listrik, upah minimum regional serta bahan bakar minyak juga diperkirakan akan memicu kenaikan inflasi. Suhu politik yang semakin panas menjelang pemilihan umum juga akan membuat pasar obligasi kurang menarik. "Dampak pemilu akan terasa pada akhir tahun nanti," tutur Rudiyanto. Di sisi lain,
yield obligasi semakin turun seiring dengan kenaikan harga obligasi sejak 2011 lalu. Saat itu, kenaikan harga obligasi terjadi karena kenaikan peringkat Indonesia ke
investment grade. Saat ini, rata-rata
yield obligasi hanya sekitar 6%. Angka tersebut sulit menarik perhatian investor. "
Yield semakin turun sedangkan inflasi diperkirakan semakin naik. Padahal, bagi investor seharusnya
yield lebih tinggi dari inflasi agar
return investasi menjadi optimal," kata Rudiyanto. Rudiyanto mengaku, pihaknya menerapkan strategi
trading aktif dan memanfaatkan waktu yang tepat dalam mengelola portofolio reksadana pendapatan tetap tahun ini. Untuk mengangkat
return, Panin juga lebih memilih obligasi pemerintah sebagai aset dasar. Obligasi pemerintah lebih likuid di pasar sekunder ketimbang obligasi korporasi. Ridwan Soetedja, Direktur Panin Asset Management mengatakan hal senada. Menurut Ridwan, reksadana pendapatan tetap juga menghadapi sentimen negatif defisit neraca transaksi berjalan tahun ini. "Selain obligasi, inflasi dan defisit
current account juga berdampak ke pasar saham," kata Ridwan. Ridwan menambahkan, pasar saham akan lebih cepat pulih dibandingkan obligasi. Emiten akan membebankan kenaikan inflasi kepada konsumen sehingga kinerja perusahaan justru naik. Hal ini menjadi sentimen positif bagi pasar saham."Saya menyarankan agar investor masuk ke reksadana saham dibandingkan reksadana pendapatan tetap," kata Ridwan. Direktur CIMB Principal Asset Management Fajar Rachman Hidajat mengatakan, kondisi politik tahun ini lebih panas dibandingkan tahun 2004 atau 2009. Hal ini akan berimbas pada pasar obligasi karena investor mengambil sikap hati-hati. "Investor obligasi sudah banyak yang
profit taking di 2012,
yield obligasi juga sudah semakin rendah. Oleh karena itu, reksadana saham tahun ini pasti akan menang dibanding reksadana pendapatan tetap," kata Fajar.
Gunanta Affrima, Direktur CIMB Principal Asset Management menimpali, reksadana pendapatan tetap juga menghadapi ancaman rencana kenaikan pajak obligasi di reksadana. Investor reksadana dikenai PPh 5% mulai 2011. Tahun 2014, pajak obligasi di reksadana akan naik menjadi 15%. Saat ini, pemerintah memberi sinyal untuk menunda realisasi kenaikan pajak. "Namun peraturan pajak tersebut tidak mungkin terus menerus ditunda, suatu saat akan diaplikasikan sehingga tentu akan berdampak pada reksadana," tutur dia. Data PT Infovesta Utama mencatat, reksadana pendapatan tetap hanya memberikan rata-rata
return 7,72% sepanjang 2012. Angka tersebut jauh di bawah rata-rata
return reksadana pendapatan tetap tahun 2011 sebesar 12,32%. Saat itu, reksadana pendapatan tetap menjadi jawara dibanding reksadana lain. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati