TANGERANG. PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) mencatatkan revenue di semester 1 tahun ini sebesar US$ 1,89 miliar. Sebesar 86,7% pendapatan berasal dari penerbangan berjadwal yakni US$ 1,64 juta. Walaupun pendapatan tersebut naik 7,4% dari semester 1 2016, perseroan masih belum mampu mencatatkan keuntungan di semester 1 tahun ini. Hingga kini, perseroan masih mencatatkan rugi bersih sebesar US$ 283 juta. Pahala N. Mansury selaku Direktur Utama perseroan mengaku jumlah kerugian yang besar ini lantaran perseroan harus membayar tax amnesty di tahun ini sekitar US$ 137 juta dan adanya pembayaran denda dengan pengadilan di Australia sebesar AU$ 10 juta. "Sebenarnya ini kasus saat tahun 2012 karena adanya persaingan usaha bisnis kargo," terang Pahala saat konferensi pers dengan media di Jakarta, Kamis (27/7). Hingga akhir tahun ini perseroan menargetkan mampu melakukan efisiensi sebesar US$ 100 juta melalui 5 program "Quick Win" oleh perseroan. Salah satunya adalah melakukan renegoisasi dengan para manufaktur dan lessor sebagai suplier perakitan pesawat. "Salah satunya dengan para lessor tentang jangka waktu leasing. Semoga mereka mau menurunkan leasing rata-rata sekitar 22% setelah extension 2 tahun," tambah Pahala. Pahala menambahkan saat ini baru berhasil melakukan renegoisasi 1 lessor dari total 27 lessor yang ada. Namun begitu, Pahala optimistis bahwa perseroan mampu terus tumbuh dibanding tahun kemarin. Hingga akhir tahun ini Pahala menargetkan membukukan operating revenue sebesar US$ 3,2 miliar yang berasa dari Garuda saja. "Ditambahkan dengan Citilink jadi sekitar US$ 3,5 miliar," tambah Pahala.
Revenue naik tipis, Garuda masih merugi
TANGERANG. PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) mencatatkan revenue di semester 1 tahun ini sebesar US$ 1,89 miliar. Sebesar 86,7% pendapatan berasal dari penerbangan berjadwal yakni US$ 1,64 juta. Walaupun pendapatan tersebut naik 7,4% dari semester 1 2016, perseroan masih belum mampu mencatatkan keuntungan di semester 1 tahun ini. Hingga kini, perseroan masih mencatatkan rugi bersih sebesar US$ 283 juta. Pahala N. Mansury selaku Direktur Utama perseroan mengaku jumlah kerugian yang besar ini lantaran perseroan harus membayar tax amnesty di tahun ini sekitar US$ 137 juta dan adanya pembayaran denda dengan pengadilan di Australia sebesar AU$ 10 juta. "Sebenarnya ini kasus saat tahun 2012 karena adanya persaingan usaha bisnis kargo," terang Pahala saat konferensi pers dengan media di Jakarta, Kamis (27/7). Hingga akhir tahun ini perseroan menargetkan mampu melakukan efisiensi sebesar US$ 100 juta melalui 5 program "Quick Win" oleh perseroan. Salah satunya adalah melakukan renegoisasi dengan para manufaktur dan lessor sebagai suplier perakitan pesawat. "Salah satunya dengan para lessor tentang jangka waktu leasing. Semoga mereka mau menurunkan leasing rata-rata sekitar 22% setelah extension 2 tahun," tambah Pahala. Pahala menambahkan saat ini baru berhasil melakukan renegoisasi 1 lessor dari total 27 lessor yang ada. Namun begitu, Pahala optimistis bahwa perseroan mampu terus tumbuh dibanding tahun kemarin. Hingga akhir tahun ini Pahala menargetkan membukukan operating revenue sebesar US$ 3,2 miliar yang berasa dari Garuda saja. "Ditambahkan dengan Citilink jadi sekitar US$ 3,5 miliar," tambah Pahala.