Revisi Permen PLTS Atap Tuai Kritikan, Ini Jawaban ESDM



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Dadan Kusdiana menjawab kritikan atas dua poin yang disoroti dalam revisi  Peraturan Menteri (Permen) Nomor 26 Tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.

Yaitu; soal penetapan kuota dan peniadaan penghitungan kelebihan energi listrik alias ekspor-impor listrik dari sistem PLTS Atap Pelanggan ke Jaringan Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU).

Menurut Dadan, penetapan kuota bertujuan untuk menjaga keandalan sistem kelistrikan. Sementara itu, menyoal peniadaan ekspor impor, Dadan menjelaskan bahwa PLTS atap sejatinya memang didesain untuk pemanfaatan sendiri, bukan untuk ditransaksikan dengan PLN.


“Meskipun tidak ada ekspor-impor, tetap masih ada insentif dari pemerintah berupa biaya operasi paralel nya nol, shg pengaruh intermitensi PLTS tetap diback-up oleh jaringan PLN,” imbuh Dadan saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (21/5).

Sebelumnya, rencana revisi permen soal PLTS atap menuai kritikan dari Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI).

Baca Juga: Begini Aturan Baru Soal Pengajuan Permohonan Pemasangan PLTS Atap

Dalam wawancara Kontan.co.id sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa menjelaskan secara keseluruhan perubahan Permen ESDM No 49 Tahun 2021 berpotensi memperlambat pertumbuhan PLTS Atap.

Ada 2 poin yang setidaknya disoroti oleh AESI lantaran dinilai dapat memberatkan pelaku usaha. Pertama, soal penentuan kuota.

Seperti diketahui, dalam revisi permen plts atap yang direncanakan, kapasitas PLTS Atap yang sebelumnya dibatasi 100% daya langganan, ke depannya tidak diberikan batasan sepanjang mengikuti kuota pengembangan PLTS Atap.

Kuota ini akan disusun oleh pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) dan ditetapkan oleh Kementerian ESDM.

Menurut Fabby, kuota kapasitas bisa menjadi hambatan untuk percepatan penambahan PLTS Atap jika tidak dikelola secara transparan dan diikuti dengan rencana perluasan jaringan dan kapasitas gardu oleh pemilik IUPTLU.

Oleh karenanya, ia menilai bahwa perlu ada ketentuan dalam revisi Permen PLTS Atap yang mengatur bahwa persetujuan dari pemerintah (regulator) harus mensyaratkan pemilik IUPTLU menyampaikan usulan kuota dibarengi dengan rencana penambahan kapasitas gardu dan trafo untuk interkoneksi dengan PLTS Atap setiap tahun untuk 5 tahun mendatang.

Dengan demikian, bagi konsumen ada kepastian bahwa mereka bisa mendapatkan izin dan kuota jaringan sudah penuh tidak jadi alasan penolakan.

Baca Juga: Aturan Tak Pasti Bikin Permintaan Susut, Banyak Perusahaan Pemasang PLTS Atap Kolaps

Poin kedua yang juga disoroti AESI ialah soal peniadaan penghitungan ekspor-impor kelebihan listrik dari PLTS atap pelanggan ke jaringan pemegang IUPTLU. Menurut Fabby, peniadaan ini akan mempengaruhi keekonomian PLTS Atap.

“Ini dapat membuat keekonomian PLTS Atap skala kecil untuk rumah tangga menjadi kurang menarik, tapi masih cukup menarik untuk industri dan bisnis yang memasang PLTS dengan order ratusan kW atau di atas MW,” terangnya.

Sedikit informasi, saat ini peraturan ini sudah berada dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto