JAKARTA. Revisi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 110 tentang Akuntansi Sukuk, dinilai bisa mendongkrak likuiditas surat utang syariah alias sukuk di pasar sekunder. Dalam revisi aturan tersebut, perhitungan sukuk dalam audit akuntan bisa lebih fleksibel. PSAK 110 terbitan Dewan Standar Akuntansi Syariah Ikatan Akuntan Indonesia (DSAS-IAI) menjadi panduan seluruh akuntan di Indonesia saat mengaudit sukuk negara dan korporasi milik investor. Selama ini, aturan yang berlaku menyebabkan investor enggan bertransaksi sukuk. Maklum, penempatan sukuk dalam audit hanya menggunakan dua klasifikasi. Pertama, "diukur pada nilai wajar melalui laba rugi", dikenal dengan sebutan
marked to market.
Direktur Pembiayaan Syariah Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto menjelaskan, pada marked to market, kenaikan atau penurunan harga di pasar sekunder langsung dieksekusi pada laporan laba rugi. Investor yang menempatkan sukuk di klasifikasi ini hanya mengejar cuan jangka pendek dari trading. Kedua, "klasifikasi diukur pada biaya perolehan diamortisasi". Artinya, investor hanya boleh memegang sukuk hingga jatuh tempo. Nah, pada Februari 2015, DSAS-IAI sudah merevisi PSAK 110 dengan menambah satu klasifikasi perhitungan dengan metode "diukur pada nilai wajar melalui penghasilan konprehensif lain". Maksudnya, investor bisa berinvestasi untuk memperoleh arus kas kontraktual (jatuh tempo) dan mendapat short-term profit dari trading. "Investor bisa memegang sukuk hingga jatuh tempo, tapi juga bisa sewaktu-waktu menjual di pasar sekunder sebelum jatuh tempo," jelas Suminto. Klasifikasi baru ini bisa membantu perkembangan sukuk, karena memberikan fleksibilitas bagi investor. "Kami sudah sosialisasikan revisi PSAK ke peserta lelang sukuk serta agen penjual sukuk ritel sejak awal Juli," ujarnya, belum lama ini.
Analis obligasi BNI Securities, I Made Adi Saputra menyebut, klasifikasi baru tersebut sudah lebih dulu diterapkan pada SUN konvensional. "Jika permintaan investor terhadap sukuk meningkat, instrumen sukuk negara bisa lebih likuid di pasar sekunder," ujarnya.
Head of Debt Research Danareksa Sekuritas Yudistira Slamet mengklaim, sukuk tidak likuid karena investor tidak ingin menggunakan metode
marked to market. Sebab, nilai outstanding sukuk masih minim, sehingga rawan koreksi. Jadi, investor memilih memegang hingga jatuh tempo. Efeknya, sukuk tidak likuid karena minim ditransaksikan. Dengan revisi ini, investor mempunyai pilihan lain dalam berinvestasi sukuk. "Meski demikian, tidak langsung berpengaruh signifikan terhadap likuiditas sukuk, likuiditas lebih dipengaruhi nilai outstanding," jelas Yudistira. Ia menyarankan, pemerintah konsisten mengalokasikan penerbitan sukuk minimal 20% dari target bruto penerbitan SUN setiap tahun. Sehingga, lambat laun nilai outstanding semakin besar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Uji Agung Santosa