KONTAN.CO.ID – JAKARTA.
Pengesahan revisi UU BUMN dinilai sebagai langkah penting dalam merombak arsitektur kelembagaan perusahaan pelat merah. Namun, restrukturisasi kelembagaan ini disebut bukan akhir dari masalah, melainkan awal dari trade-off baru yang harus dikelola secara hati-hati. Revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah resmi berlaku sejak disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis (2/10/2025).
Baca Juga: RUU BUMN Disahkan, Pengawasan BUMN di Tangan Danantara Revisi tersebut resmi menurunkan Kementerian BUMN menjadi Badan Pengaturan BUMN (BP BUMN) dengan peran sebagai regulator, sekaligus mempertegas posisi Danantara sebagai pengendali ekonomi BUMN. Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengibaratkan langkah tersebut sebagai tindak “memindahkan kokpit BUMN ke satu pilot”, yakni Danantara, sementara BP BUMN berfungsi sebagai menara pengawas. Achmad menjelaskan, masalah utama BUMN selama ini adalah dualisme peran Kementerian BUMN yang bertindak sekaligus sebagai regulator dan pemilik ekonomis. Dualisme itu, menurutnya, membuat akuntabilitas melebur, keputusan korporasi tersendat, dan performa tidak konsisten.
Baca Juga: Danantara Kian Eksis, Status Kementerian Ini Bakal Disetip Nah, ia menilai revisi UU BUMN ini berhasil menghapus dualisme tersebut. Dus, pembagian tugas yang lebih jelas membuka jalan perbaikan tata kelola. Namun, sentralisasi kewenangan juga harus ditandingi
checks-and-balances yang tegas. Di samping itu, Achmad mengingatkan bahwa struktur baru tidak serta merta membuat kinerja keuangan BUMN yang banyak lesu melonjak. Ia bilang kunci keberhasilan ada pada kontrak
public service obligation (PSO) yang jelas dan transparan. “Tanpa kerangka PSO yang terkontrak, penugasan layanan publik akan terus menggerus kinerja holding, dan pada akhirnya menagih kompensasi diam-diam dari APBN. Revisi UU membuka peluang memperbaiki ini, tapi belum menjamin mekanisme kontrak PSO yang rinci,” jelas Achmad kepada Kontan, Kamis (2/10/2025). Achmad menegaskan, efisiensi Danantara harus diimbangi oleh penguatan regulator. Dalam hal ini, BP BUMN mesti diberi hak konfirmasi untuk aksi korporasi material, kewajiban keterbukaan kinerja per holding, hingga protokol sanksi bila standar tata kelola dilanggar.
Baca Juga: Istana Sebut Peleburan Kementerian BUMN ke Danantara Masih Dalam Kajian Di samping itu, ia bilang ada setidaknya enam langkah yang perlu segera ditempuh setelah revisi UU BUMN disahkan: 1. Kontrak PSO yang dipublikasikan dengan
ring-fencing anggaran. 2.
Policy on capital allocation Danantara yang transparan (
hurdle rate, prioritas sektor, batas
leverage). 3. Laporan kinerja portofolio per kuartal, bukan hanya laporan konsolidasian. 4.
Risk governance yang ketat (
mismatch valuta, jatuh tempo utang,
stress test grup). 5. Prinsip pasar untuk
patriot bonds, termasuk kupon berbasis risiko. 6. Audit independen oleh BPK dan komite khusus yang dilaporkan ke DPR tiap semester.
Baca Juga: Kencang Isu Peleburan Kementerian BUMN dan Danantara, Begini Nasib Emiten Pelat Merah Secara keseluruhan, ia menilai sentralisasi tanpa transparansi hanya akan memindahkan masalah dari satu ruangan ke ruangan lain.
“Indonesia ingin terbang lebih tinggi dengan armada BUMN yang tersusun rapi. Kita sudah menunjuk satu pilot, yakni Danantara. Kini saatnya memasang juga
black box, checklist, dan menara pengawas yang bekerja. Hanya dengan itu, sentralisasi bisa jadi efisiensi, bukan sekadar euforia,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News