KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar menyatakan revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba tidak memenuhi syarat formil. Bisman menyoroti berbagai cacat prosedur dan substansi yang melekat pada proses revisi tersebut. “Revisi ini tidak melalui tahap perencanaan sebagaimana diamanatkan dalam pembentukan undang-undang. RUU Minerba tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas),” kata Bisman kepada Kontan, Selasa (21/1).
Lebih lanjut, Bisman menjelaskan, jika alasan kumulatif terbuka berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) digunakan sebagai dasar revisi, hal itu juga tidak relevan. Baca Juga: Produksi Batubara Meningkat, Emiten Jasa Pertambangan Siap Pacu Kinerja Tahun Ini Pasalnya, pada Desember 2024, MK telah memutus judicial review terhadap UU Minerba terkait pengaturan organisasi masyarakat (Ormas) dalam mendapatkan lokasi tambang. “MK menolak permohonan tersebut, artinya tidak ada masalah konstitusionalitas terhadap pemberian lokasi tambang kepada Ormas,” tegasnya. Bisman menerangkan, putusan MK tahun 2022 dan 2020 terkait UU Minerba hanya menyentuh soal jaminan pemanfaatan ruang untuk wilayah usaha pertambangan. “Tidak ada kekosongan hukum atau masalah konstitusionalitas yang mendesak, sehingga revisi ini tidak memiliki urgensi sama sekali,” tambah Bisman. Proses revisi yang dilakukan secara tiba-tiba oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR juga menjadi sorotan. Menurut Bisman, revisi ini seharusnya berada di ranah Komisi XII yang membidangi pertambangan. Selain itu, ia mengkritisi minimnya sosialisasi, transparansi, dan partisipasi publik dalam penyusunan revisi UU tersebut.