Revisi UU Perbankan penting pasca tax amnesty



JAKARTA. Program tax amnesty atau pengampunan pajak akan selesai pada akhir Maret 2017. Bersamaan, tahun ini dianggap sebagai masa transisi sebelum era keterbukaan informasi dan data atau Automatic Exchange Of Information (AEOI) pada 2018.

Untuk menyambut AEOI , Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah berupaya mempermudah mekanisme akses data perbankan. Pasalnya, selama ini semua data perbankan dilindungi kerasahasiaannya oleh UU Perbankan.

Demi tetap bisa mempermudah mekanisme akses data perbankan, walau masih belum bisa menembus akses data perbankan secara langsung karena dilindungi Undang-Undang (UU) Perbankan, DJP tengah membuat sistem khusus yang membuat permintaan data perbankan lebih mudah.


Apalagi dalam revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Tata Cara Permintaan Keterangan atau Bukti dari Pihak yang Terikat Kewajiban Merahasiakan telah membuka peluang bagi DJP untuk membuka data perbankan melalui aplikasi elektronik.

Dalam PMK yang lama, mekanisme permohonan tidak diatur secara spesifik dan dilakukan secara manual melalui surat menyurat. “Aplikasi sedang kami finalisasi. Pasti akan kami luncurkan kalau sudah siap,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama kepada KONTAN, Selasa (7/1).

Asal tahu saja, hingga saat ini otoritas pajak tidak bisa mengakses data perbankan tersebut. Akses data perbankan diperbolehkan hanya untuk keperluan penyidikan suatu tindak pidana, tapi berdasarkan permintaan Menteri Keuangan.

Dalam PMK sebelumnya, Menkeu harus mengajukan permohonannya pembukaan data perbankan ke BI. Namun kini peran pengawasan perbankan ada di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sehingga surat permintaan dari Menkeu dalam PMK terbaru harus diajukan kepada OJK.

“Memang diperlukan perubahan UU Perbankan supaya otoritas pajak dapat memiliki akses lebih luas daripada data WP yang sedang dilakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, dan penagihan aktif,” kata Yoga.

Terpisah, Anggota Komisi XI DPR , Andreas Eddy Susetyo mengatakan bahwa pembahasan revisi terhadap UU Perbankan ini harus disegerakan. Menurut Andreas, bila UU ini tidak direvisi, Indonesia dapat dikatakan tidak siap untuk ikut serta dalam AEOI.

“Indonesia sudah komitmen untuk lakukan ini tetapi sampai sekarang belum. Padahal, negara lain sudah kembangkan UU Perbankan untuk perpajakan. Kepentingan kita sebenarnya lebih banyak dibandingkan mereka (negara lain) untuk mendapatkan informasi (dari luar negeri),” ucapnya di Jakarta, Selasa (7/2)

Andreas bilang, kerahasiaan data perbankan ini bila dibuka untuk kepentingan perpajakan hasilnya akan dahsyat terhadap penerimaan negara. Namun demikian, pembahasan UU ini menurut dia menyangkut dua pihak yaitu pemerintah dan DPR sehingga akan memakan waktu yang tidak sebentar.

“Kami karena terdesak problem utamanya di fiskal, tahun ini kami mengutamakan UU KUP (ketentuan umum perpajakan) karena ini mandat saat kita menyelesaikan UU tax amnesty. Yang kedua ini yang sudah pending lama, yaitu UU PNBP,” ujarnya.

Namun demikian, dari segi waktu, pembahasan UU KUP menurut Andreas memiliki materi yang banyak dan tidak bisa selesai dalam satu tahun. “Karena itu saya ingin memasukkan, seharusnya after amnesty pajak, kami segera revisi UU Perbankan, karena kalau menunggu KUP kita bisa seperti nunggu KUHAP di bidang hukum. Sedangkan kalau revisi UU Perbankan, kita punya urgensi juga,” ucapnya,

Andreas bilang, UU Perbankan yang lama memang banyak perlu revisi, contohnya masalah peran bank nasional dibandingkan bank asing, bagaimana keberpihakan terhadap UMKM dari sektor perbankan, dan struktur perbankan domestik terkait kepemilikan bank.

“Mestinya dibanding KUP, UU Perbankan jauh lebih cepat, dan itu menunjukkan keseriusan kita kepada AEOI. Kalau ini mau serius, ini harus diselesaikan di 2017, untungnya slotnya ada karena sudah masuk prolegnas,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto