Rezeki besar dari mainan orang kota



Istilah designer toys atau urban toys mungkin masih terdengar asing. Padahal, komunitas penggila mainan urban terus berkembang sejak pertengahan dekade 2000-an. Bahkan, kini, peluang bisnis mainan urban yang bergema di beberapa kota besar makin prospektif.Designer toys atau mainan urban merupakan barang koleksi. Produksi mainan yang mengandalkan nama si tokoh atau desainer pembuatnya sangat terbatas. Biasanya, produsen hanya merilis mainan ini paling banyak 2.000 unit. Meski telah muncul sejak dekade 1990-an, mainan urban baru mulai ramai sejak pertengahan 2000-an. Para pelaku atau artis mainan urban pun yakin, pasar mainan ini bakal berkembang seiring kemunculan tokoh-tokoh andal. Para pembuat designer toys ini disebut artis. Layaknya pelukis, pembuat mainan urban ini juga melakukan seluruh proses produksi, mulai dari pembuatan ilustrasi atau sketsa, pencetakan platform atau media karya, pewarnaan, hingga pemasaran. "Seperti pekerja seni lainnya mereka menuangkan ide dan kreativitas secara total pada mainan ini," ujar Win Satrya, salah satu penggila sekaligus produsen mainan urban.Hasrat Win terhadap mainan urban ini muncul semasa menetap di Amerika Serikat selama tujuh tahun. Seperti halnya Win, Joshua Hartono juga menyimpan keinginan yang sama. Di Negeri Uwak Sam ini, Win dan Joshua melihat ragam jenis mainan urban di berbagai media. Mulai dari figur, poster, hingga digital printing.Dari sisi bahan dasar, mainan urban juga beragam. Bahan paling umum dipakai adalah resin dan vinil. Selain itu, kayu, logam, dan kertas juga kerap menjadi bahan mainannya. Ketika kembali ke Indonesia sekitar tahun 2007, Win dan Joshua belum menemukan satu toko pun yang menawarkan mainan urban, seperti halnya di Amerika Serikat. Mereka memberanikan diri membuka gerai The Other Culture pada 2008.Kini, The Other Culture telah bersalin nama menjadi Plastic Culture. Usaha ini lebih fokus pada pengembangan pasar mainan urban domestik.Seperti diungkapkan oleh kedua punggawanya, Plastic Culture merupakan wadah dan komunitas bagi penggila atau kolektor mainan urban. Plastic Culture juga menempatkan dirinya sebagai media promosi dan pemasaran bagi produsen mainan urban lokal, yang selama ini lebih mengandalkan jaringan internet atau online. "Memang pasarnya masih kecil. Tapi peluang untuk berkembang sangat besar," ujar Win, optimistis. Pertimbangannya, menurut Joshua, banyak pembeli asing yang menyukai produk mainan urban keluaran artis Indonesia. Jadi, Win menimpali, masyarakat Indonesia tinggal mendapat edukasi serta pengenalan atas produk mainan urban tersebut. "Kalau rasa tertarik sudah muncul, maka mereka bisa melihat nilai seni dari mainan ini," imbuh dia. Win mengacu pada banderol harga jual tiap produk mainan urban ini yang relatif mahal. Bila tak memiliki rasa seni atau ketertarikan tinggi, tentu Anda akan melihat mainan urban ini sebagai barang-barang mewah belaka. Pasalnya, mainan urban ditawarkan mulai dari Rp 50.000 hingga bisa mencapai puluhan juta rupiah. "Harga ini sangat tergantung dari jumlah unit yang diproduksi, dan seberapa terkenal pembuatnya," kata produsen figur Poozilla dan Chimp Pan Zee itu.Singkat cerita, kata Joshua, popularitas artis bakal menentukan harga jual produk mainannya. Faktor penentu lain adalah jumlah produksinya yang terbatas. Di sinilah letak nilai lebih mainan urban ini. "Ada satu mainan yang dibeli dengan blind box. Jadi kita tidak bisa melihat isinya," ujarnya. Setelah berbagai langkah promosi dijalankan, ungkap Joshua, kini Plastic Culture memiliki keanggotan sekitar 3.000 orang. Sayang, dia tak ingin membeberkan omzet bulanan yang diraup oleh usahanya itu. "Tapi, hal ini menjadi bukti pasar sudah merespon kehadiran mainan urban, meski baru sekitar 20% pembeli yang memahami produk ini secara mendalam," ujarnya.Brian Harsanto, merupakan satu di antara beberapa artis mainan urban yang menggunakan media resin. Berawal dari sekadar hobi membuat ilustrasi atau sketsa objek yang digelutinya sejak 1995, kini dia cukup termahsyur di kalangan artis atau desainer mainan plastik. "Semua desainer mainan plastik pasti berawal dari ilustrasi," ujar Brian. Karya artis dengan julukan Breeanzz ini adalah figur Beat Up Boxer. Salah satu figur yang baru dirilis olehnya adalah Beat Up Boxer berwarna merah, dengan tinggi 9 inci. "Ini edisi khusus Kemerdekaan Indonesia kemarin," ujarnya.Brian hanya merilis 17 figur Beat Up Boxer edisi Kemerdekaan Indonesia. Semuanya sudah laku terjual. Mainan ini dibanderol US$ 115 per item, yang sudah termasuk ongkos kirim.

Mahal? Sebenarnya, harga tersebut cukup sepadan untuk sebuah karya seni mainan urban yang memerlukan waktu, biaya, dan kreativitas yang tinggi. "Beli resinnya saja sudah mahal," ungkap Brian.Meski enggan membeberkan omzet dari bisnis yang digelutinya ini, potensi keuntungan yang mampu diraup oleh Brian dari Beat Up Box edisi kemerdekaan saja mencapai US$ 2.000. Hingga saat ini, Brian telah memasarkan sekitar 35 figur mainan urban. Selain di bengkel kreasi yang berlokasi di Jalan Setiabudi No 56, Bandung, Beat Up Box dipasarkan lewat jaringan internet. Bagi yang berminat, Anda bisa mengunjungi situs www.breeanzz.com untuk melakukan pemesanan. Anda harus cepat karena jumlah figur yang ditawarkan oleh lulusan artis lulusan Fakultas Desain Grafis Sekolah Tinggi Desain Indonesia (STDI) Bandung, ini terbatas.Brian membutuhkan waktu satu minggu untuk mengerjakan sebuah mainan urban. Prosesnya mulai dari pembuatan ilustrasi, pencetakan, hingga pewarnaan. "Dulu, sebelum pakai cetakan, bisa sekitar tiga sampai empat bulan untuk satu figur, karena lama mengulik bentuk," katanya. Dalam waktu dekat ini, dia bakal merilis edisi baru Beat Up Boxer. Memang, Brian rutin mengeluarkan jenis produk mainan baru setiap tiga hingga empat bulan sekali. Namun, produk baru yang diluncurkan hanya mengandalkan perubahan kombinasi warna atau istilahnya colourway. "Karena membuat cetakan baru untuk figur baru itu rumit dan mahal," tandasnya.Selain Brian, Johanes Djauhari juga tercatat sebagai artis mainan urban lokal yang cukup disegani. Yang membedakan, dia menggunakan kertas sebagai media mainan urban. Johanes merangkai kertas mengikuti pola yang diinginkan menjadi sebuah mainan urban yang unik. Tapi ini berbeda dengan seni melipat kertas asal Jepang, origami. Sejauh ini, Johanes hanya memasarkan produknya pada ajang pameran dan secara online, dengan harga berkisar Rp 1 juta - Rp 3 juta. Kini, dia tengah bereksperimen untuk menghasilkan karya dengan media kayu. Untuk mendukung ambisinya itu, Johanes menggandeng perajin asal Jepara. Saban bulan, dia bisa menghasilkan sekitar lima hingga 10 mainan. Baik Johanes maupun Brian menyatakan, pasar luar negeri masih menjadi pasar potensial bagi artis mainan urban asal Indonesia. Sebagai contoh, pembeli produk Beat Up Boxer mayoritas berasal dari Amerika Serikat, Belanda dan Meksiko.Kedua artis ini pun turut bersyukur atas upaya para pecinta mainan urban, seperti Plastic Culture, yang cukup serius menggarap pasar lokal. "Dibandingkan dengan situasi lima tahun lalu, pasar urban toys di Indonesia telah berkembang jauh," ujar Brian.Johanes pun telah menyiapkan langkah jitu untuk menarik hati para pembeli domestik. Caranya, dia memproduksi berbagai figur yang memiliki konsep sederhana, sehingga harganya tak setinggi produk yang ditawarkan kepada pembeli asing. Selain itu, dia ingin bereksperimen menggunakan media batu untuk menghasilkan mainan urban.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Tri Adi