Rezeki olahan kedelai masih gurih digarap



Olahan kedelai berupa tahu dan tempe rasanya tak pernah absen di pasar domestik. Harganya relatif murah. Namun, jangan remehkan potensi keuntungan bisnis ini. Jika tertarik, simak seluk-beluk bisnis pabrik tahu dan tempe berikut!

Bisa dibilang, tahu atau tempe, jenis lauk yang paling sering terhidang di meja makan keluarga Indonesia, apalagi di Pulau Jawa. Hasil olahan kedelai ini kaya akan protein nabati. Sudah begitu, harganya pun lebih murah ketimbang sumber protein hewani, seperti telur atau daging. Tahu dan tempe juga mudah diolah sebagai masakan dan memiliki rasa khas yang digemari banyak orang.

Melihat potensi pasar itu, mungkin Anda tergiur menjajal terjun sebagai perajin. Jika demikian, ada beberapa hal yang mesti menjadi pertimbangan Anda. Sebagai awal, tentukan lebih dulu, Anda ingin membuat tahu atau memproduksi tempe. Meskipun sama-sama berbahan dasar kedelai dan memerlukan alat yang nyaris sama, keduanya perlu proses dan perlakuan berbeda. Ada baiknya, sebagai awal, Anda fokus pada satu jenis olahan saja.


Usaha tahu dan tempe memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sebagai gambaran, menurut Sutaryo, produsen tahu dan keripik tempe di Jakarta, margin produksi tahu paling berkisar 15%–25% dari penjualan. Sementara itu, laba kotor tempe bisa mencapai 50% dari harga penjualan. Sebab, setiap 1 kilogram kedelai bisa menghasilkan tempe seberat 1,5 kilogram. "Jadi, satu setengah kalinya," kata dia.

Namun, dari sisi produksi, volume produksi tahu bisa lebih besar. "Umumnya, tidak ada perajin yang memproduksi di bawah 1 kuintal setiap hari," kata Sutaryo. Sedangkan, untuk tempe, biasanya permintaan pasarnya akan naik bertahap. "Bisa sampai 70 kg per hari sudah bagus," ujar dia.

Lalu, berbeda dengan tahu yang bisa diproses dan dijual di hari yang sama, tempe memerlukan waktu 3–4 hari untuk proses fermentasi sebelum siap dijual. Karenanya, Sutaryo menyarankan untuk menyiapkan bahan baku sebanyak 5 hari produksi. "Karena hasil produksi dari hari pertama baru bisa dijual di hari keempat, begitu seterusnya," jelasnya. Untuk usaha awal, saran Sutaryo, pengusaha bisa menyiapkan minimal 250 kg.

Sebagai produk jadi, baik tahu maupun tempe hanya bisa bertahan sampai tiga hari bila tidak dimasukkan di freezer.

Modal pabrik tahu lebih besar

Dari sisi modal, pabrik tempe juga lebih ringan, hanya memerlukan modal bahan pembungkus berupa plastik atau daun, ragi, dan alat yang tidak semahal pabrik tahu. "Tenaga kerjanya juga bisa dikerjakan sendiri," imbuh Sutaryo. Sementara, untuk memproduksi tahu, perajin butuh bantuan beberapa karyawan sehingga biaya operasional juga lebih besar.

Jika ikut aturan upah pekerja saat ini, upah minimum regional (UMR) di DKI Jakarta mencapai Rp 3 juta per bulan. Tapi, menurut Sutaryo, umumnya pekerja pabrik tahu dan tempe dibayar Rp 1,5 juta –Rp 2 juta per bulan dengan tambahan uang makan atau tempat tinggal.

Sementara, Ahmad Husein menerapkan sistem borongan. Pemilik pabrik tahu EL di Jakarta ini menetapkan, biaya pekerja sebesar Rp 1.000 untuk setiap pengolahan 1 kilogram kedelai. Jadi, bila ia mengolah 1 ton kedelai, maka biaya pegawai yang ia keluarkan pada hari itu, Rp 1 juta.

Untuk produksi tempe, tempat juga tidak menjadi masalah besar. Produksi tempe bisa dikerjakan di rumah sendiri, tidak perlu membeli atau menyewa tempat secara khusus. "Ukuran ruang 25 meter persegi (m2) sudah cukup," kata Sutaryo.

Sementara, untuk produksi tahu, minimal membutuhkan ruang berukuran 5 meter x 10 meter. Pabrik tahu perlu ruang lebih luas karena proses pembuatan tahu lebih panjang ketimbang tempe, yakni mulai dari penghancuran kedelai melalui proses penggilingan. Lalu, ada proses perebusan hingga menjadi bubur. Berlanjut dengan proses penyaringan dan cetak.

Ahmad mengungkapkan, pabrik tahu miliknya memiliki luas 300 m2 dengan kapasitas produksi hingga 1 ton kedelai. Saat ini, Ahmad mengolah sedikitnya 6 kuintal kedelai. Dari sini, ia bisa menghasilkan sekitar 360 papan tahu.  "Per 100 kg kedelai jadi sekitar 60–66 papan," kata dia.

Dengan harga jual satu papan tahu yang Rp 22.000 saat ini, Ahmad mengaku bisa mengantongi laba bersih setidaknya 15%–20% atau sekitar Rp 1,5 juta per hari. Tentu, besarnya laba ini bisa berubah seiring dengan volume produksi pa-briknya. Ia bilang, rata-rata produksi pabriknya 7 kuintal –9 kuintal per hari. Namun, ada kalanya saat permintaan tinggi, produksinya mencapai 1 ton.

Beruntung, Ahmad tidak perlu mengeluarkan ongkos distribusi karena semua pembelinya adalah pelanggan yang datang ke pabriknya untuk membeli tahu. "Kalau harus antar, ya, harga jualnya pasti berbeda," ujar pria 39 tahun ini.

Faktor lain yang membuat modal produksi tahu lebih besar ketimbang tempe adalah peralatan. Untuk membeli peralatan yang berbahan baja tahan karat atau stainless steel, perajin tempe memerlukan modal sebesar Rp 25 juta. Alat-alat ini terdiri dari mesin pemecah, dandang perebus, dandang peniris, kompor perebusan, serta kerai fermentasi. Alat-alat ini bisa dibeli di toko mesin atau koperasi. Sebenarnya, bisa saja biaya peralatan ditekan menjadi sekitar Rp 5 juta dengan cara membeli alat berkualitas rendah. Namun, Sutaryo tidak menyarankan.

Sementara, lantaran prosesnya lebih rumit, peralatan untuk produksi tahu bisa mencapai Rp 35 juta – Rp 50 juta. Ahmad menghitung, untuk pabriknya yang berlokasi di Buncit Raya, Jakarta Selatan, ia menginvestasikan Rp 40 juta untuk peralatan berbahan stainless steel.

Nah, setelah mengetahui plus minus masing-masing, mungkin Anda sudah punya keputusan jadi juragan tempe atau tahu.

Namun, menurut Sutaryo, punya modal tidaklah cukup. Anda perlu pengalaman. Ada baiknya, Anda 'magang' dulu di pengusaha yang lebih berpengalaman. Sebab, ada hal-hal teknis yang mungkin berpotensi menggagalkan usaha Anda (baca: Keahlian yang Tidak Instan). Sutaryo sendiri mengawali usahanya sebagai perajin tempe di tahun 1990-an. Sebelum membuka usaha sendiri, pria 49 tahun ini menjadi karyawan di usaha tempe milik saudaranya.

Perhatikan air

Untuk menjamin mutu produksi dan keberlanjutan pabrik tahu atau tempe, ada dua unsur utama yang harus Anda perhatikan, yakni kedelai dan air. Air yang layak dipakai adalah yang bersih dan bebas zat besi. Jika lokasi produksi Anda tidak memiliki akses air bersih ini, maka Anda harus menambah investasi pada alat pemurni air.

Sebaiknya, pabrik tahu juga dekat dengan sungai atau saluran pembuangan air. Sebab, pa-brik tahu perlu membuang air bekas rebusan kedelai. Lokasi pabrik tahu atau tempe juga sedapat mungkin dekat dengan pembeli atau pasar tradisional yang merupakan penyerap terbesar produk tahu dan tempe.

Sementara, untuk bahan baku kedelai, Anda bisa membeli dari importir kedelai, distributor, dan koperasi. Sebagian besar pasokan kedelai saat ini merupakan impor dari Amerika Serikat. "Bukannya tidak ada, tapi kedelai lokal sulit dicari dan kadang kualitasnya tidak bagus," jelas Ahmad. Padahal, kata dia, kedelai lokal memiliki rasa lebih gurih ketimbang kedelai impor.

Selain kualitas produk, tak kalah penting adalah strategi pemasaran. Karena persaingan juga ketat, pemain baru perlu kerja ekstra. Ahmad bercerita, saat memulai usaha, orangtuanya berdagang keliling menawarkan tahu dari rumah ke rumah. Perajin tahu atau tempe baru biasanya sulit menembus langsung pembeli lapis kedua, seperti pedagang gorengan atau produsen olahan. "Karena umumnya, mereka sudah punya langganan," kata Sutaryo, yang juga Ketua II Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo).

Soal harga, biasanya ada kesepakatan tak tertulis antara para perajin. Saat ini, harga tempe berkisar Rp 8.000 – Rp 10.000 per kg. Adapun, harga tahu, Rp 22.000 per papan. Setiap papan bisa dipotong menjadi sekitar 100 buah tahu. "Kalau mau menaikkan, biasanya musyawarah dulu dengan perajin lain," kata Ahmad.  

Kenaikan harga tahu dan tempe biasanya menyesuaikan harga kedelai yang memiliki acuan harga komoditas. "Tapi, kalau harga kedelai naik, tidak otomatis harga tahu atau tempe ikut naik," ujar Sutaryo. Untuk  menekan rugi, Ahmad biasanya memangkas produksi saat terjadi kenaikan harga kedelai.

Apabila Anda telah memiliki pengalaman sebagai perajin tahu atau tempe dan ingin menjual produk ke pasar modern, Anda perlu mendapatkan izin dari Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perindustrian. Perizinan umumnya tidak memerlukan biaya, kecuali yang memerlukan pengecekan laboratorium. Misalnya, izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) dari Kemenkes. Untuk mendapat izin ini, umumnya dibutuhkan kuota 20 orang perajin. Jadi, sebaiknya Anda jadi anggota Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Kopti).

Nah, tertarik mencoba?     

Keahlian yang tidak instan

Walaupun terlihat gampang, menjadi pengusaha tahu atau tempe sebetulnya tidaklah sederhana. Memang, ilmu dasar membuat tahu atau tempe bisa dipelajari dalam waktu beberapa hari saja. Cuma memerlukan bahan baku utama, yakni kedelai, dan urutan proses yang relatif mudah dipahami.

Tapi, di luar itu, diperlukan kebiasaan dan pengalaman untuk menjamin kelangsungan usaha. Itulah sebabnya, pengusaha tahu atau tempe umumnya disebut perajin tahu atau perajin tempe. "Untuk jadi anggota koperasi juga perlu verifikasi pengalamannya sebagai perajin tahu atau tempe," kata Sutaryo, pemilik pabrik tahu di Jakarta.

Sutaryo bercerita, suatu ketika, ada orang yang berniat menjajal jadi pengusaha tempe dan mempelajari caranya selama beberapa hari. Ketika pulang ke kampung halaman, usaha itu awalnya berjalan lancar dan banyak diminati pembeli. Namun, dalam sepekan, orang tersebut harus membuang produk gagal sebanyak dua hari produksi. Apa pasal?

Bila diibaratkan ilmu persilatan, kemampuan orang tersebut barulah sampai pada kuda-kuda dasar dan belum sampai ke jurus lanjutan. Ia belum menguasai insting agar fleksibel menghadapi masalah produksi. Misal, pada saat suhu lebih tinggi, tempe haruslah ditusuk-tusuk supaya tidak terlalu panas. Demikian saat kondisi udara lembab, ada trik agar suhu fermentasi tempe tetap terjaga, misalnya dengan cara ditutupi kertas koran. "Perlu pengalaman agar mutu bisa kontinyu," ujar Sutaryo, yang juga punya pabrik keripik tempe.

Ahmad Husein, pemilik pa-brik tahu EL di Jakarta, pun sependapat. Ia cukup beruntung karena mewarisi usaha pembuatan tahu dari orangtuanya. Sedari kecil, ia biasa membantu proses produksi tahu sehingga dengan sendirinya ia mengetahui keahlian yang bermanfaat. Misalnya, lama perebusan, kekentalan bubur kedelai sebelum disaring jadi tahu. Sementara, Sutaryo sendiri awalnya menjadi pegawai di tempat saudara yang perajin tempe.

Lalu, bagaimana dengan orang yang ingin menerjuni usaha ini namun tidak memiliki relasi perajin tahu atau tempe? Ya, Anda harus bersedia belajar lebih dulu dari perajin yang bersedia membagi ilmu. Entah sebagai pegawai atau mungkin sebagai rekan. Ahmad menganjurkan, setidaknya setahun belajar agar seseorang terbiasa menghadapi berbagai siklus cuaca serta membaca pasar, apakah ramai atau sepi.       

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi