Rezeki segede bus



Bulan lalu, seorang teman membuat status di media sosial. Katanya, "Biasanya sampai tujuan, hari sudah terang jadi bisa langsung jalan pulang. Ini jam dua malam, turunnya di pinggir hutan." Status itu disertai emotikon crazy. Sontak kawan-kawan berkomentar di bawahnya. Beberapa bilang, "Mudik naik bus, ya?"  

Bus memang jadi andalan lagi, setelah tol Trans Jawa beroperasi  akhir tahun lalu. Sebelum ini, selama bertahun-tahun, bisnis angkutan bus dan travel seperti mati suri. Angkutan darat tersebut tidak jadi pilihan utama, terlebih bagi mereka yang kerap melintas di Pulau Jawa.

Daripada naik bus, terseok-seok terjebak kemacetan sepanjang Pantai Utara Jawa, atau mabuk karena jalanan naik turun di pesisir selatan, orang memilih kereta api yang lebih nyaman. Naik kereta juga tepat waktu keberangkatan dan kedatangan. Selain kereta api, harga tiket pesawat relatif murah kalau pesan jauh-jauh hari. Seandainya keberangkatan pesawat tertunda pun (delay), itu masih lebih cepat ketimbang mengukur jalanan di Jawa naik bus.


Jadi, jangan heran kalau bus dengan cepat kehilangan peminat. Terminal pun biasanya hanya penuh sesak ketika Lebaran, saat harga tiket kereta api dan pesawat melambung tinggi.

Kini, ceritanya berbalik. Awalnya tol Trans Jawa dibuka, sehingga bus bisa sampai lebih cepat ke tujuan. Setelah itu, maskapai mengerek harga tiket pesawat mereka, gara-gara biaya operasional naik. Kereta api tentu tidak bisa menampung semua limpahan penumpang pesawat,  alhasil  bus pun kembali jadi pilihan. Akhir pekan ini, seorang kawan yang lain memotret tempat duduknya di bus Jogja-Jakarta sembari update status, "Kursinya nyaman, dapat makan, bisa nge-charge hape, ada wifi, tiketnya murah lagi."

Menurut asosiasi bus antarkota antarprovinsi di Jawa Tengah, rata-rata keterisian bus mereka naik 60% karena berbagai faktor ini. Tambah lagi, pengusaha bus juga berhasil menjaring penumpang dari daerah-daerah yang tidak disinggahi kereta api atau pesawat. Tapi, orang memang jadi senang naik bus lantaran waktu tempuh jauh lebih singkat. Misalnya bus Jakarta-Solo yang biasanya sampai Solo subuh, belakangan tengah malam sudah merampungkan perjalanannya. Bus Jakarta-Malang yang dulu menghabiskan waktu 16 jam di jalan, kini cukup 11 jam saja.

Waktu tempuh yang lebih pendek adalah kunci sukses angkutan. Seorang pengusaha bus yang cukup besar di Jawa Tengah, berkisah, dirinya pernah menjajal naik bus Jakarta-Bali, saat Tol Cipali belum jadi. Biasanya, trayek ini memakan waktu 24 jam. Berangkat dari Jakarta siang hari, ternyata sampai Cirebon dia sudah tidak betah gara-gara macet dan memilih untuk turun saja.

Dengan waktu tempuh lebih singkat, beberapa pengusaha bus berencana menambah jam keberangkatan. Kalau sudah begitu, mungkin kita tidak akan lagi mengenal sebutan bus malam, karena bus tak hanya menyalakan mesin saat malam saja.

Jika bus kembali jadi raja jalanan, tentu penumpang dan pengguna jalan lain berharap banyak. Misalnya, pengusaha bus semakin memperhatikan armada mereka, termasuk syarat minimal untuk laik jalan.

Selain itu, memberi perhatian lebih bagi para awak bus, sehingga tidak ada lagi cerita ugal-ugalan di jalan. Lebih-lebih karena rute mereka di tol Trans Jawa yang kebanyakan jalurnya terbatas, tak seperti Jalan Pantura yang relatif luas.

Ada baiknya juga jika disediakan halte yang layak dengan penerangan cukup, sehingga penumpang tidak jeri meski turun di hutan jam dua malam. ♦          

Hendrika Yunapritta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi