Rhenald Kasali: CEO harus bisa bedakan resesi dengan disrupsi



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Guru Besar Universitas Indonesia Rhenald Kasali mengingatkan agar pelaku usaha dan BUMN bisa membedakan ancaman resesi dengan disrupsi. Terlebih saat sejumlah unicorn mulai diuji di pasar modal dan beralih dari angel investor ke publik.

Rhenald mencontohkan tahun lalu saja, 12 unicorn global menguji nyali di NYSE walaupun totalnya rugi US$ 14 miliar. Setelah itu berita buruk terhadap Uber membuat harga sahamnya anjlok, sedangkan di Indonesia berita tentang PHK di Bukalapak juga menghiasi media sehingga menimbulkan banyak pertanyaan.

Baca Juga: Suku Bunga Turun, Investor Memburu Sukuk Negara premium


“Ancaman resesi, kali ini menimpa negara-negara yang perekonomiannya mengandalkan pasar ekspor. Indonesia mungkin sedikit terganggu, tetapi tak sebesar Singapura atau Thailand yang benar-benar mengandalkan ekspor. Sedangkan ancaman disrupsi, bisa lebih berbahaya, khusus bila CEO menggunakan cara-cara lama dan terlena,” paparnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Rabu (16/10).

Ia menambahkan disrupsi teknologi mengakibatkan pasar tergerus oleh pendatang baru, mengalami great shifting, terimbas substitusi dan mengakibatkan sumber2 pendapatan usaha yang utama kehilangan relevansi.

“Kantor-kantor cabang bank masih dipertahankan kendati sudah jarang nasabah yang datang. Kelak, kalau kendaraan beralih ke mobil listrik, bagaimana nasib SPBU atau pompa bensin? Belum lagi model bisnis yang mengandalkan kendali atas seluruh sumberdaya yang digantikan platform yang efisien,” tambahnya.

Baca Juga: Wall Street berseri, terdorong sentimen rilis laporan keuangan emiten yang cemerlang

Kendati begitu, ia mengatakan disrupsi lebih mudah diatasi ketimbang resesi karena kendali ada di tangan CEO. Karena itulah ia mengingatkan agar CEO menggunakan cara-cara baru, ubah sudut pandang dan jangan asal membeli teknologi, lalu sudah merasa telah melakukan transformasi digital.

Menurutnya saat ini mulai banyak CEO yang tertarik berinvestasi pada startup milik anak muda. Namun agak terganggu dengan ancaman resesi, berita-berita buruk tentang ancaman PHK yang terjadi di sejumlah platform seperti Uber dan Buka lapak dan cara pandang lama.

"Start up itu bersifat expansif, sedang pada fase pertumbuhan. Metricnya adalah growth dan matching quality. Sedangkan korporasi  metric nya adalah ratio keuangan yang mencerminkan keuntungan dan efisiensi," kata Rhenald.

Kasus-kasus itu Rhenald bilang harus dilihat lebih detil. Memang benar bahwa startup ini masih dalam tahap pertumbuhan dan banyak yang belum punya sumber pendapatan yang bisa diandalkan, namun sudah berani IPO.

"Ini yang mengakibatkan nasib mereka terpuruk. Problemnya adalah model bisnis. Lalu juga ada yang tidak mampu mempertahankan keseimbangan antara harga murah yang diinginkan pasar atas jasa-jasanya dengan keinginan vendor yang tak mau diberi margin rendah," ungkapnya.

Baca Juga: Proyeksi pertumbuhan ekonomi Australia kembali dipangkas

Ketidakmampuan mengelola ketiganya bisa berakibat platform semakin ditinggalkan. Namun Rhenald menegaskan hal tersebut tidak terjadi pada semua startup.

Para CEO kini dituntut untuk memahami cara kerja baru. Tak cukup bermodalkan metric lama yang dipelajari di business school pada era tahun 80-90an. “Kalau tidak laju usaha kita akan semakin diserang asing secara proxy menggunakan platform dari jauh kan kita hanya menjadi penonton saja sambil menyalahkan resesi,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini