KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Target ambisius Indonesia membangun proyek kilang dan storage minyak berkapasitas 1 juta barel di 18 lokasi tersebar di seluruh negeri dinilai penuh risiko. Asal tahu saja, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sekaligus Ketua Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional, Bahlil Lahadalia telah menyerahkan 18 proyek hilirisasi ke Danantara. Di dalamnya, ia memasukkan proyek kilang dan penyimpanan (storage) minyak berkapasitas 1 juta barel sebagai salah satu proyek hilirisasi sektor ketahanan energi. Khusus untuk kilang dan penyimpanan, dana total yang dibutuhkan untuk mengembangkan proyek adalah senilai Rp 232 triliun, yang terbagi menjadi Rp 160 triliun untuk dana pengembangan kilang minyak dan Rp 72 trilun untuk dana tangki penyimpanan minyak. Baca Juga: Lanjutan Tarif Trump, Danantara Akan Bangun 17 Kilang di AS Senilai Rp 130 Triliun "Kita akan membangun storage crude untuk ketahanan energi kita selama 21 hari. Dengan sinergi antara Satgas (hilirisasi) dan Danantara, maka insyaallah proyek yang hari ini masih menjadi rencana akan menjadi realita," kata Bahlil di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (22/07). Menurut Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) resiko pertama yang akan dihadapi adalah adanya cost overrun atau pembengkakan biaya dari yang sebelumnya ditargetkan. "Ada potensi cost overrun, pas mulai pembangunan biasanya membengkak. Apalagi ini yang ditargetnya kan 18 kilang, ini pasti kilang-kilang kecil," ungkap Ketua Komite Investasi Aspermigas Moshe Rizal saat dihubungi Kontan, Kamis (24/07). Moshe menambahkan kilang berskala kecil biasanya dapat memproduksi BBM sekitar 50.000 hingga 100.000 barel per hari (bph). Sedangkan yang berskala besar bisa di atas 300.000 bph. Dengan volume yang lebih rendah, menurut dia cost yang dikeluarkan untuk per barel juga akan lebih rendah. "Prinsip bisnis dimana, kapasitas besar produksi besar maka kapasitas per unitnya akan makin kecil, begitu juga sebaliknya. Pengaruhnya adalah BBM nanti bisa lebih mahal," jelasnya. Baca Juga: Bahlil Masukkan Proyek Kilang Minyak Sebagai Proyek Hilirisasi, Ini 18 Lokasinya Aspermigas kata dia juga mewanti-wanti agar proyek ini berjalan sesuai janji apalagi jika telah melibatkan Danantara. Risiko dari mangkraknya proyek kilang seharusnya bisa diminimalisir. "Apalagi kalau sudah pakai Danantara, itu kan uang rakyat, harus diperhatikan. Penilaian nilai investasi, nilai keekonomiannya harus akurat," jelasnya. Di sisi lain, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) mengatakan bahwa Indonesia memang perlu membangun kilang di dalam negeri agar bisa mengolah minyak mentah sendiri tanpa harus mengirim atau ekspor ke luar negeri untuk mendapatkan spesifikasi minyak yang diinginkan. "Tapi, terlepas dari hal tersebut, memang membangun kilang ini perlu dipertimbangkan betul keekonomian dan risikonya. Karena ini investasi yang sangat besar, sedangkan saat ini dan ke depan sudah mulai transisi energi yang akan signifikan mengurangi penggunaan BBM fosil," kata Bisman. Hal senada juga diungkap Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Hadi Ismoyo. Ia bilang proyek membangun kilang adalah proyek besar yang memakan waktu. "(membangun) itu tidak mudah, butuh studi yang komprehensif dari semua aspek, baik teknical, komersial dan kepastian pasok crude itu sendiri," kata dia.
RI Bangun 18 Kilang Senilai Rp 160 T, Berpotensi Membengkak dan Terancam Mangkrak
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Target ambisius Indonesia membangun proyek kilang dan storage minyak berkapasitas 1 juta barel di 18 lokasi tersebar di seluruh negeri dinilai penuh risiko. Asal tahu saja, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sekaligus Ketua Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional, Bahlil Lahadalia telah menyerahkan 18 proyek hilirisasi ke Danantara. Di dalamnya, ia memasukkan proyek kilang dan penyimpanan (storage) minyak berkapasitas 1 juta barel sebagai salah satu proyek hilirisasi sektor ketahanan energi. Khusus untuk kilang dan penyimpanan, dana total yang dibutuhkan untuk mengembangkan proyek adalah senilai Rp 232 triliun, yang terbagi menjadi Rp 160 triliun untuk dana pengembangan kilang minyak dan Rp 72 trilun untuk dana tangki penyimpanan minyak. Baca Juga: Lanjutan Tarif Trump, Danantara Akan Bangun 17 Kilang di AS Senilai Rp 130 Triliun "Kita akan membangun storage crude untuk ketahanan energi kita selama 21 hari. Dengan sinergi antara Satgas (hilirisasi) dan Danantara, maka insyaallah proyek yang hari ini masih menjadi rencana akan menjadi realita," kata Bahlil di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (22/07). Menurut Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) resiko pertama yang akan dihadapi adalah adanya cost overrun atau pembengkakan biaya dari yang sebelumnya ditargetkan. "Ada potensi cost overrun, pas mulai pembangunan biasanya membengkak. Apalagi ini yang ditargetnya kan 18 kilang, ini pasti kilang-kilang kecil," ungkap Ketua Komite Investasi Aspermigas Moshe Rizal saat dihubungi Kontan, Kamis (24/07). Moshe menambahkan kilang berskala kecil biasanya dapat memproduksi BBM sekitar 50.000 hingga 100.000 barel per hari (bph). Sedangkan yang berskala besar bisa di atas 300.000 bph. Dengan volume yang lebih rendah, menurut dia cost yang dikeluarkan untuk per barel juga akan lebih rendah. "Prinsip bisnis dimana, kapasitas besar produksi besar maka kapasitas per unitnya akan makin kecil, begitu juga sebaliknya. Pengaruhnya adalah BBM nanti bisa lebih mahal," jelasnya. Baca Juga: Bahlil Masukkan Proyek Kilang Minyak Sebagai Proyek Hilirisasi, Ini 18 Lokasinya Aspermigas kata dia juga mewanti-wanti agar proyek ini berjalan sesuai janji apalagi jika telah melibatkan Danantara. Risiko dari mangkraknya proyek kilang seharusnya bisa diminimalisir. "Apalagi kalau sudah pakai Danantara, itu kan uang rakyat, harus diperhatikan. Penilaian nilai investasi, nilai keekonomiannya harus akurat," jelasnya. Di sisi lain, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) mengatakan bahwa Indonesia memang perlu membangun kilang di dalam negeri agar bisa mengolah minyak mentah sendiri tanpa harus mengirim atau ekspor ke luar negeri untuk mendapatkan spesifikasi minyak yang diinginkan. "Tapi, terlepas dari hal tersebut, memang membangun kilang ini perlu dipertimbangkan betul keekonomian dan risikonya. Karena ini investasi yang sangat besar, sedangkan saat ini dan ke depan sudah mulai transisi energi yang akan signifikan mengurangi penggunaan BBM fosil," kata Bisman. Hal senada juga diungkap Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Hadi Ismoyo. Ia bilang proyek membangun kilang adalah proyek besar yang memakan waktu. "(membangun) itu tidak mudah, butuh studi yang komprehensif dari semua aspek, baik teknical, komersial dan kepastian pasok crude itu sendiri," kata dia.
TAG: